Selasa, 31 Januari 2012

POSISI BURUH ATAU PEKERJA DALAM SISTEM PEREKONOMIAN YANG DEMOKRATIS

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adapun latar belakang dari permasalahan yang kami bahas dalam makalah ini yaitu bahwa dalam system perekonmian atau bahkan ketaatanegaraan kita itu seringkali keberadaan petani dan buruh itu tidak memiliki posisi yang pasti baik itu dalam kapasitasnya sebagai warga Negara yang berhak mendapatkan pelayanan bagaimana selayaknya atau yang tercantum dalam amanat Undang-Undang. Petani dan buruh hanya menjadi instrument politik ketika para pasangan calon pemimipin ingin mendapatkan suatu kekuasaan dan pada umunya para petani dan buruh itu seakan terbawa akan apa yang dilakukan oleh calon birokrat tersebut apalagi ketika mereka mengembor-gemborkan tentang masalah yang dihadapi oleh para petani dan buruh yang semakin membuat posisi kedua elemen ini semakin menjadi jargon politik semata.Melihat kondisi dari para petani dan buruh kita di Indonesia memang san gat memprihatinkan dimana mereka dari segi ekonomi masih berada dalam kondisi yang serba tidak mencukupi apalagi dalam perpolitikan yang sepertinya kurang mendapatkan posisi yang strategis sehingga apa yang menjadi keinginan mereka ridak bias mendapat respon dari para pelaku politik.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
A. Pengertian Ekonomi Politik
B. Posisi Buruh Dalam Perspektif Ekonomi Politik
C. Posisi Petani Dalam Pandangan Ekonomi Politik
D. Petani Dan Buruh Dalam Pandangan Ekonomi Neoklasik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ekonomi Politik
Ekonomi Politik muncul pertama kali pada sekitar abad ke-17 di Perancis, dan pada waktu itu memiliki pengertian administrasi publik atau manajemen urusan kenegaraan. Istilah ini muncul sebagai refleksi dari adanya hubungan antara negara dengan ekonomi pada waktu itu. Kata "oeconomie" atau "économie" itu sendiri dalam bahasa Perancis, yang digabungkan dengan kata politique, berasal dari kata "oeconomia" dalam bahasa Latin, yang memiliki arti yang hampir sama dengan arti kata "oikonomike" dalam bahasa Yunani, yang mana adalah "manajemen rumah tangga." Tetapi, arti kata "oeconomia" dalam bahasa Latin dapat diperluas sampai menjadi "manajemen dalam arti umum," termasuk pengaturan komposisi bahasa dalam suatu pidato. Istilah "ekonomi politik" yang mulai lebih diformulasikan sebagai ilmu organisasi ekonomi, dapat ditemukan pada mazhab Physiokrasi. Salah satu tokoh yang terkenal dari mazhab ini, yaitu Francois Quesnay, menggunakan istilah ekonomi politik mirip dengan arti tradisionalnya, tetapi dengan tambahan diskusi mengenai "sifat-dasar dari kekayaan, reproduksi dan distribusinya." Pada perkembangan berikutnya. Sementara itu, arti tambahan yang diberikan Quesnay terhadap istilah ekonomi politik ini, menjadi semakin dominan, dan pada tahun 1770, istilah ini hampir secara eksklusif diartikan sebagai produksi dan distribusi dari kekayaan dalam konteks manajemen sumber daya negara. Istilah ini kemudian banyak digunakan oleh ahli-ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dan John Stuart Mill, dan pengertiannya lama kelamaan semakin menjadi seperti ekonomi positif. Menurut. Proses transisi ini, yang dilakukan dengan meningkatkan industrialisasi barang-barang modal dan perantara, atau industri berat, membutuhkan pasokan modal dan teknologi yang besar.
Negara harus bekerja sama dengan masyarakat bisnis internasional. Negara memberikan "insentif baku", seperti stabilitas dan prediktabilitas ekonomi, dengan cara menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi dan moneter yang kurang lebih konservatif atau ortodoks. Kebijakan-kebijakan ekonomi semacam ini pada gilirannya menghancurkan para pelaku ekonomi yang tidak efisien,
B. Posisi Buruh Dalam Perspektif Ekonomi Politik
Dengan adanya pandangan Ahli tentang Pendekatan strukturalis pada umumnya memiliki kelemahan bahwa analisis-analisisnya terlalu banyak difokuskan kepada persoalan struktur yang dihasilkan oleh kepentingan dari kelas-kelas sosial yang dominan—baik internasional maupun domestik dan negara, sehingga kurang memberikan perhatian kepada pembahasan mengenai segi aktif dari kelas-kelas sosial yang dimarjinalkan di dalam struktur, seperti kelas buruh dan petani. Buruh dan petani, pada umumnya hanya muncul sebagai korban yang menerima secara pasif proses sosial yang direkayasa oleh kelas-kelas sosial yang dominan. Padahal, kelas-kelas sosial yang dimarginalkan tersebut adalah juga subyek atau agen daripada sejarah, yang ikut juga berperan secara aktif dalam menentukan struktur-struktur yang akan dihasilkan. Tentunnya hal ini akan mengakibatkan gelombang demonstrasi komunitas buruh (pekerja). Gerakan buruh di Indonesia menemukan spirit resistensi-sosialnya untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial-ekonomi yang selama ini masih dalam imajinasi karena kebijakan politik upah murah pemerintah. Namun beberapa pegiat perburuhan dan pemerhati fenomena gerakan sosial memiliki perspektif pemikiran yang berbeda dalam memandang semakin meluasnya protes dan resistensi kolektif komunitas buruh di Indonesia. Beberapa anggapan tersebut antara lain:
• Pertama, gerakan buruh di Indonesia masih memiliki kelemahan secara ideologis. Gerakan buruh di Indonesia bukan gerakan transformatif yang berani membongkar struktur kekuasaan yang pro modal dan pasar. Gerakan buruh di Indonesia masih berkutat pada watak "ekonomisme", yakni berjuang untuk upah dan kesejahteraan ekonomi semata.
• Kedua, gerakan buruh di Indonesia belum memiliki kekuatan organisasi persatuan yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan kaum buruh secara makro. Gerakan buruh di Indonesia mayoritas masih didominasi oleh kalangan pekerja (buruh) kelas kerah biru yang bekerja di sektor industri manufaktur dan industri hilir. Mereka kebanyakan sekarang ini berstatus buruh kontrak yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemilik modal dan kebijakan ekonomi politik negara.
Nasib kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami proses pemiskinan dan semakin tercerabut hak sosial-ekonomi dan hak sipil-politiknya. Rencana Revisi UU No 13 tahun 2003 memiliki motivasi ekonomis politik, untuk meliberalisasikan sektor perburuhan dan melemahkan posisi tawar politik komunitas buruh di Indonesia. Standar kesejahteraan hidup para buruh di Indonesia juga semakin melemah karena himpitan dampak kebijakan ekonomi pemerintah yang berwatak neo-liberalisme. Namun sayangnya Serikat buruh tidak memiliki kekuatan ideologis dan tidak memiliki program ekonomi-politik untuk menghadapi laju kebijakan neo-liberalisme pemerintah. Gerakan buruh di Indonesia bukanlah gerakan mantelisme politik, yakni menjadi sayap atau alat kepentingan elite politik atau partai politik. Namun menjadi kekuatan yang mandiri sebagai pressure group untuk memperjuangkan demokrasi dan kepentingan substansial kaum buruh kecenderungan pemerintah membela kelompok pengusaha –pengusaha kelas atas dalam rangka menciptakan iklim investasi asing yang kondusif di Indonesia dengan serta-merta mereduksi peran buruh pada posisi yang semakin terpinggirkan. Logika ini juga tidak lepas gejala kuat yang mendorong pasar Indonesia ke dalam program neoliberalisme.
C. Posisi Petani Dalam Pandangan Ekonomi Politik
Adanya program Pemerintah terhadap para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sangat menguntanugkan bagi Negara dalam mengelola tanah pertanian yaitu membuka peluang kerja semakin tinggi, pemasukan pajak meningkat, dan ditambah adanya pendapatan non pajak. Namun, kurang berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikan kepada asing hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan tanah mati atau tidur tersebut bisa dikelola oleh petani Indonesia. Dalam pengalaman industrialisasi di tiap-tiap negara akan berbeda-beda terhadap hubungan negara, modal, dan kelas pekerja. Kehadiran gerakan kelas pekerja akan memeberikan dampak tersendiri bagi proses pembangunan yang hendak dicapai oleh sebuah negara. Dan hal ini pun akan berdampak pula pada model kerangka sosial dan politik. Saat ini pembangunan ekonomi sangat ditentukan sekali oleh kekuatan pasar. Pasar merupakan kekuatan yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Pandangan ini terutama terpengaruh oleh pandangan ekonomi neoklasik.
Mayoritas petani kita adalah warga negara yang sederhana. Mereka tidak mau neko-neko semisal menjadi golput. Sayangnya, jumlah suara petani yang amat signifikan itu sering hanya dijadikan objek pendongkrak suara demi keuntungan “politis” bagi pengurus parpol atau elite politik, baik di level nasional atau lokal. Setelah keuntungan itu diraih, nasib petani kembali tidak diperhatikan. Memang ketika kampanye untuk pemilihan umum untuk anggota legislatif, isu petani dan pertanian dimainkan dengan mencolok di iklan-iklan parpol. Ada Partai mengklaim keberhasilan swasembada beras dan langkah ekspor beras sebagai indikasi kesuksesan pembangunan pertanian. Ada Partai mencitrakan diri sebagai partai pembela kepentingan petani, melalui iklan di media televisi. Ada Partai tidak mau kalah dengan menunjukkan fakta kemelaratan petani tidak secara khusus mengangkat isu pertanian.
Namun, isu-isu pertanian yang diangkat parpol tersebut sesungguhnya masih sangat umum sifatnya, tidak rinci dan konkret, misalnya terkait pengadaan benih, pupuk dan beras. Keberadaan petani hanya dijadikan figuran. Harus diakui, posisi petani dalam kancah politik nasional masih dimarginalkan. Para petani terus ditentukan nasibnya oleh para elite politik pengambil kebijakan. Para petani tidak pernah bisa menentukan sendiri nasibnya. Pasca-reformasi 1998, sempat mencuat wacana para petani seharusnya punya parpol sendiri dan menjadi kekuatan hebat seperti di era Orde Lama di mana organisasi tani yang berpengaruh pasti berada di bayang-bayang partai politik tertentu, Petanu di bawah Partai NU. Pembentukan Partai Politik Petani sebenarnya sangat strategis. Sayangnya, banyak kendala di dalam praktiknya. Akar permasalahan pertanian di negeri ini bersumber dari belum diimplementasikannya reformasi agraria, yang sudah memiliki payung hukum, yakni Undang-Undang Republik Indonesia No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan UU itu, Indonesia resmi meninggalkan hukum agraria kolonial Agrarische Wet 1870. UUPA mengambil spirit dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (naskah awal dan asli) yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Jadi, tujuan akhir UUPA adalah mengangkat derajat para petani lewat reformasi agraria atau pertanahan. Setelah disahkannya UUPA No 5/1960, para petani kita tetap harus menghadapi berbagai kesulitan. Payung hukum yang seharusnya melindungi mereka dibuat mandul. Jadi, tidak terimplementasikannya UUPA No 5/1960 adalah sumber utama penderitaan petani.Tidak heran di era Orba, para petani tetap hidup susah, karena kemampuan petani dalam menguasai aset tanah jadi terbatas, akibat tanah mereka dialihkan ke pengusaha lewat sistem hak guna usaha (HGU) dengan luas yang tidak dibatasi. Izin HGU diobral demi menjamin kepentingan pengusaha perkebunan kelapa sawit, karet, Di Era Reformasi nasib petani tetap saja masih belum membaik, padahal Tap MPR No IX/MPR/2001 secara tegas memberi mandat pada pemerintah untuk melaksanakan reformasi agrarian.
Jadi, selama reformasi agraria yang diamanatkan UUPA No 5/1960 belum diimplementasikan, nasib petani kita tetap akan kelabu. Pada Era kerajaan dulu, sektor pertanian mendapat perhatian besar dari penguasa. Penguasa Majapahit misalnya, berani menetapkan kawasan bebas pajak berupa sawah dan kebun, seperti ditunjukkan Prasasti Kamalagi (821 M). Para petani juga dilindungi oleh undang-undang agar terhindar dari kesewenang-wenangan. Yang merugikan petani bisa dihukum atau didenda berat yang langsung dijatuhkan sang raja. Pertanian mencapai masa kejayaan di zaman Majapahit.Negeri ini butuh kebijakan politik yang pro petani, bukan malah memarginalkannya. Memang ada yang bilang posisi tawar petani sekarang sudah naik. Ini memang benar bagi petani agrobisnis, yang lahan dan modalnya kuat. Namun, bagi mayoritas petani, dengan lahan sedikit dan mungkin hanya jadi petani penggarap, posisi tawar mereka masih amat rendah. Karena itu bagi petani macam ini, harus ada upaya atau kebijakan politis yang sungguh mampu mengangkat derajat mereka. Ini bisa dimulai dengan mengi-mplementasikan UUPA No 5/1960. Para petani sudah bosan dengan janji politik yang kosong.
C. Petani Dan Buruh Dalam Pandangan Ekonomi Neoklasik
Menurut pendukung pendekatan liberal neo-klasik yang sejak 1980-an dikenal jugadengan nama neoliberalisme, isu pokok yang ditangani ilmu ekonomi adalah
bagaimana menciptakan atau meningkatkan kekayaan atau kemakmuran materiil.
Karena itu, pembangunan ekonomi adalah upaya akumulasi kapital; yang
keberhasilannya diukur dengan produk nasional bruto tahunan. Ideologi yang mendasari ilmu ekonomi liberal itu juga mengajukan asumsi khas tentang hakeket manusia. Yaitu, manusia dipandang semata-mata sebagai “makhluk
ekonomi” yang berperilaku seperti “utility-maximizing machine” (mesin yang
berfungsi memaksimalkan keuntungan) dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri.Manusia dianggap banyak akan bergerak kalau kepadanya ditunjukkan “iming-iming” yang sifatnya materiil.
Inilah yang mendasari munculnya kebijakan publik yang dalam praktek membanjiri warga masyarakat dengan kepuasan materiil,
dengan harapan kepuasan itu akan menimbulkan ketenangan. Yang dilupakan adalah
perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juba oleh
filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika. Terakhir, pendekatan liberal neo-klasik itu juga mengembangkan sikap yang khasmengenai organisasi dan lembaga sosial. Seperti sudah tersirat di atas, lembaga sosial yang paling diutamakan adalah pasar, sedangkan organisasi dan lembaga sosial lain dianggap “given”. Yang paling penting adalah mekanisme pasar. Karenaitu, mereka yang memiliki modal dan melibatkan diri dalam kegiatan pasar akanmenentukan apa yang akan terjadi dalam proses ekonomi. Apa peran negara Negara berperan mendefinisikan dan melindungi hak milik dan menciptakan lingkungan yangmendukung bekerjanya pasar.sistem perekonomian pemerintah lebih terkesan pro-liberalisme, sehingga sikap pemerintah menjadi ambigu Sedangkan dalam pandangan demokrasi liberal seperti diungkapkan oleh Barrington Moore’s (1966), bahwa kaum borjuis memiliki peran penting dalam proses pembangunan demokrasi, sedangkan kehadiran kekuatan kelas pekerja yang didasarkan pada siapa yang berkuasa dalam eksploitasi kaum petani, dianggap menghambat ke arah pembangunan demokrasi.


BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
Buruh dan petani, pada umumnya hanya muncul sebagai korban yang menerima secara pasif proses sosial yang direkayasa oleh kelas-kelas sosial yang dominan. Padahal, kelas-kelas sosial yang dimarginalkan tersebut adalah juga subyek atau agen daripada sejarah, yang ikut juga berperan secara aktif dalam menentukan struktur-struktur yang akan dihasilkan. Nasib kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami proses pemiskinan dan semakin tercerabut hak sosial-ekonomi dan hak sipil-politiknya. kurang berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikan kepada asing hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan tanah mati atau tidur tersebut bisa dikelola oleh petani Indonesia. bahwa kaum borjuis memiliki peran penting dalam proses pembangunan demokrasi, sedangkan kehadiran kekuatan kelas pekerja yang didasarkan pada siapa yang berkuasa dalam eksploitasi kaum petani, dianggap menghambat ke arah pembangunan demokrasi.
 Saran
Dalam pentusunan makalah ini pastinya masih terdapat berbagai kekurangan oleh sebab itu saran dan kritikan yang sifatnya membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini kedepannya

| Free Bussines? |

2 komentar:

  1. kalo berkenan , tolong info alamat emailnya ya..., atau respon ke tabloid.inspirasi@gmail.com untuk penerbitan atrikel. terima kasih.

    BalasHapus
  2. senang bisa berkunjung ke bloga anda, infonya sangat mernarik dan bermanfaat
    terimakasih, sukses terus

    BalasHapus