BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adapun latar belakang dari permasalahan yang kami bahas dalam makalah
ini yaitu bahwa dalam system perekonmian atau bahkan ketaatanegaraan
kita itu seringkali keberadaan petani dan buruh itu tidak memiliki
posisi yang pasti baik itu dalam kapasitasnya sebagai warga Negara yang
berhak mendapatkan pelayanan bagaimana selayaknya atau yang tercantum
dalam amanat Undang-Undang. Petani dan buruh hanya menjadi instrument
politik ketika para pasangan calon pemimipin ingin mendapatkan suatu
kekuasaan dan pada umunya para petani dan buruh itu seakan terbawa akan
apa yang dilakukan oleh calon birokrat tersebut apalagi ketika mereka
mengembor-gemborkan tentang masalah yang dihadapi oleh para petani dan
buruh yang semakin membuat posisi kedua elemen ini semakin menjadi
jargon politik semata.Melihat kondisi dari para petani dan buruh kita di
Indonesia memang san gat memprihatinkan dimana mereka dari segi ekonomi
masih berada dalam kondisi yang serba tidak mencukupi apalagi dalam
perpolitikan yang sepertinya kurang mendapatkan posisi yang strategis
sehingga apa yang menjadi keinginan mereka ridak bias mendapat respon
dari para pelaku politik.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
A. Pengertian Ekonomi Politik
B. Posisi Buruh Dalam Perspektif Ekonomi Politik
C. Posisi Petani Dalam Pandangan Ekonomi Politik
D. Petani Dan Buruh Dalam Pandangan Ekonomi Neoklasik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ekonomi Politik
Ekonomi Politik muncul pertama kali pada sekitar abad ke-17 di Perancis,
dan pada waktu itu memiliki pengertian administrasi publik atau
manajemen urusan kenegaraan. Istilah ini muncul sebagai refleksi dari
adanya hubungan antara negara dengan ekonomi pada waktu itu. Kata
"oeconomie" atau "économie" itu sendiri dalam bahasa Perancis, yang
digabungkan dengan kata politique, berasal dari kata "oeconomia" dalam
bahasa Latin, yang memiliki arti yang hampir sama dengan arti kata
"oikonomike" dalam bahasa Yunani, yang mana adalah "manajemen rumah
tangga." Tetapi, arti kata "oeconomia" dalam bahasa Latin dapat
diperluas sampai menjadi "manajemen dalam arti umum," termasuk
pengaturan komposisi bahasa dalam suatu pidato. Istilah "ekonomi
politik" yang mulai lebih diformulasikan sebagai ilmu organisasi
ekonomi, dapat ditemukan pada mazhab Physiokrasi. Salah satu tokoh yang
terkenal dari mazhab ini, yaitu Francois Quesnay, menggunakan istilah
ekonomi politik mirip dengan arti tradisionalnya, tetapi dengan tambahan
diskusi mengenai "sifat-dasar dari kekayaan, reproduksi dan
distribusinya." Pada perkembangan berikutnya. Sementara itu, arti
tambahan yang diberikan Quesnay terhadap istilah ekonomi politik ini,
menjadi semakin dominan, dan pada tahun 1770, istilah ini hampir secara
eksklusif diartikan sebagai produksi dan distribusi dari kekayaan dalam
konteks manajemen sumber daya negara. Istilah ini kemudian banyak
digunakan oleh ahli-ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dan John
Stuart Mill, dan pengertiannya lama kelamaan semakin menjadi seperti
ekonomi positif. Menurut. Proses transisi ini, yang dilakukan dengan
meningkatkan industrialisasi barang-barang modal dan perantara, atau
industri berat, membutuhkan pasokan modal dan teknologi yang besar.
Negara harus bekerja sama dengan masyarakat bisnis internasional.
Negara memberikan "insentif baku", seperti stabilitas dan
prediktabilitas ekonomi, dengan cara menerapkan kebijakan-kebijakan
ekonomi dan moneter yang kurang lebih konservatif atau ortodoks.
Kebijakan-kebijakan ekonomi semacam ini pada gilirannya menghancurkan
para pelaku ekonomi yang tidak efisien,
B. Posisi Buruh Dalam Perspektif Ekonomi Politik
Dengan adanya pandangan Ahli tentang Pendekatan strukturalis pada
umumnya memiliki kelemahan bahwa analisis-analisisnya terlalu banyak
difokuskan kepada persoalan struktur yang dihasilkan oleh kepentingan
dari kelas-kelas sosial yang dominan—baik internasional maupun domestik
dan negara, sehingga kurang memberikan perhatian kepada pembahasan
mengenai segi aktif dari kelas-kelas sosial yang dimarjinalkan di dalam
struktur, seperti kelas buruh dan petani. Buruh dan petani, pada umumnya
hanya muncul sebagai korban yang menerima secara pasif proses sosial
yang direkayasa oleh kelas-kelas sosial yang dominan. Padahal,
kelas-kelas sosial yang dimarginalkan tersebut adalah juga subyek atau
agen daripada sejarah, yang ikut juga berperan secara aktif dalam
menentukan struktur-struktur yang akan dihasilkan. Tentunnya hal ini
akan mengakibatkan gelombang demonstrasi komunitas buruh (pekerja).
Gerakan buruh di Indonesia menemukan spirit resistensi-sosialnya untuk
memperjuangkan kesejahteraan sosial-ekonomi yang selama ini masih dalam
imajinasi karena kebijakan politik upah murah pemerintah. Namun beberapa
pegiat perburuhan dan pemerhati fenomena gerakan sosial memiliki
perspektif pemikiran yang berbeda dalam memandang semakin meluasnya
protes dan resistensi kolektif komunitas buruh di Indonesia. Beberapa
anggapan tersebut antara lain:
• Pertama, gerakan buruh di Indonesia masih memiliki kelemahan secara
ideologis. Gerakan buruh di Indonesia bukan gerakan transformatif yang
berani membongkar struktur kekuasaan yang pro modal dan pasar. Gerakan
buruh di Indonesia masih berkutat pada watak "ekonomisme", yakni
berjuang untuk upah dan kesejahteraan ekonomi semata.
• Kedua, gerakan buruh di Indonesia belum memiliki kekuatan organisasi
persatuan yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan kaum buruh secara
makro. Gerakan buruh di Indonesia mayoritas masih didominasi oleh
kalangan pekerja (buruh) kelas kerah biru yang bekerja di sektor
industri manufaktur dan industri hilir. Mereka kebanyakan sekarang ini
berstatus buruh kontrak yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat di
hadapan pemilik modal dan kebijakan ekonomi politik negara.
Nasib kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami
proses pemiskinan dan semakin tercerabut hak sosial-ekonomi dan hak
sipil-politiknya. Rencana Revisi UU No 13 tahun 2003 memiliki motivasi
ekonomis politik, untuk meliberalisasikan sektor perburuhan dan
melemahkan posisi tawar politik komunitas buruh di Indonesia. Standar
kesejahteraan hidup para buruh di Indonesia juga semakin melemah karena
himpitan dampak kebijakan ekonomi pemerintah yang berwatak
neo-liberalisme. Namun sayangnya Serikat buruh tidak memiliki kekuatan
ideologis dan tidak memiliki program ekonomi-politik untuk menghadapi
laju kebijakan neo-liberalisme pemerintah. Gerakan buruh di Indonesia
bukanlah gerakan mantelisme politik, yakni menjadi sayap atau alat
kepentingan elite politik atau partai politik. Namun menjadi kekuatan
yang mandiri sebagai pressure group untuk memperjuangkan demokrasi dan
kepentingan substansial kaum buruh kecenderungan pemerintah membela
kelompok pengusaha –pengusaha kelas atas dalam rangka menciptakan iklim
investasi asing yang kondusif di Indonesia dengan serta-merta mereduksi
peran buruh pada posisi yang semakin terpinggirkan. Logika ini juga
tidak lepas gejala kuat yang mendorong pasar Indonesia ke dalam program
neoliberalisme.
C. Posisi Petani Dalam Pandangan Ekonomi Politik
Adanya program Pemerintah terhadap para investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia sangat menguntanugkan bagi Negara dalam mengelola
tanah pertanian yaitu membuka peluang kerja semakin tinggi, pemasukan
pajak meningkat, dan ditambah adanya pendapatan non pajak. Namun, kurang
berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri.
Daripada diberikan kepada asing hendaknya pemerintah berpikir bagaimana
jutaan tanah mati atau tidur tersebut bisa dikelola oleh petani
Indonesia. Dalam pengalaman industrialisasi di tiap-tiap negara akan
berbeda-beda terhadap hubungan negara, modal, dan kelas pekerja.
Kehadiran gerakan kelas pekerja akan memeberikan dampak tersendiri bagi
proses pembangunan yang hendak dicapai oleh sebuah negara. Dan hal ini
pun akan berdampak pula pada model kerangka sosial dan politik. Saat ini
pembangunan ekonomi sangat ditentukan sekali oleh kekuatan pasar. Pasar
merupakan kekuatan yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Pandangan ini
terutama terpengaruh oleh pandangan ekonomi neoklasik.
Mayoritas petani kita adalah warga negara yang sederhana. Mereka tidak
mau neko-neko semisal menjadi golput. Sayangnya, jumlah suara petani
yang amat signifikan itu sering hanya dijadikan objek pendongkrak suara
demi keuntungan “politis” bagi pengurus parpol atau elite politik, baik
di level nasional atau lokal. Setelah keuntungan itu diraih, nasib
petani kembali tidak diperhatikan. Memang ketika kampanye untuk
pemilihan umum untuk anggota legislatif, isu petani dan pertanian
dimainkan dengan mencolok di iklan-iklan parpol. Ada Partai mengklaim
keberhasilan swasembada beras dan langkah ekspor beras sebagai indikasi
kesuksesan pembangunan pertanian. Ada Partai mencitrakan diri sebagai
partai pembela kepentingan petani, melalui iklan di media televisi. Ada
Partai tidak mau kalah dengan menunjukkan fakta kemelaratan petani
tidak secara khusus mengangkat isu pertanian.
Namun, isu-isu pertanian yang diangkat parpol tersebut sesungguhnya
masih sangat umum sifatnya, tidak rinci dan konkret, misalnya terkait
pengadaan benih, pupuk dan beras. Keberadaan petani hanya dijadikan
figuran. Harus diakui, posisi petani dalam kancah politik nasional masih
dimarginalkan. Para petani terus ditentukan nasibnya oleh para elite
politik pengambil kebijakan. Para petani tidak pernah bisa menentukan
sendiri nasibnya. Pasca-reformasi 1998, sempat mencuat wacana para
petani seharusnya punya parpol sendiri dan menjadi kekuatan hebat
seperti di era Orde Lama di mana organisasi tani yang berpengaruh pasti
berada di bayang-bayang partai politik tertentu, Petanu di bawah Partai
NU. Pembentukan Partai Politik Petani sebenarnya sangat strategis.
Sayangnya, banyak kendala di dalam praktiknya. Akar permasalahan
pertanian di negeri ini bersumber dari belum diimplementasikannya
reformasi agraria, yang sudah memiliki payung hukum, yakni Undang-Undang
Republik Indonesia No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA). Dengan UU itu, Indonesia resmi meninggalkan hukum
agraria kolonial Agrarische Wet 1870. UUPA mengambil spirit dari Pasal
33 Ayat (3) UUD 1945 (naskah awal dan asli) yang menyatakan, “Bumi dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Jadi, tujuan akhir UUPA adalah
mengangkat derajat para petani lewat reformasi agraria atau pertanahan.
Setelah disahkannya UUPA No 5/1960, para petani kita tetap harus
menghadapi berbagai kesulitan. Payung hukum yang seharusnya melindungi
mereka dibuat mandul. Jadi, tidak terimplementasikannya UUPA No 5/1960
adalah sumber utama penderitaan petani.Tidak heran di era Orba, para
petani tetap hidup susah, karena kemampuan petani dalam menguasai aset
tanah jadi terbatas, akibat tanah mereka dialihkan ke pengusaha lewat
sistem hak guna usaha (HGU) dengan luas yang tidak dibatasi. Izin HGU
diobral demi menjamin kepentingan pengusaha perkebunan kelapa sawit,
karet, Di Era Reformasi nasib petani tetap saja masih belum membaik,
padahal Tap MPR No IX/MPR/2001 secara tegas memberi mandat pada
pemerintah untuk melaksanakan reformasi agrarian.
Jadi, selama reformasi agraria yang diamanatkan UUPA No 5/1960 belum
diimplementasikan, nasib petani kita tetap akan kelabu. Pada Era
kerajaan dulu, sektor pertanian mendapat perhatian besar dari penguasa.
Penguasa Majapahit misalnya, berani menetapkan kawasan bebas pajak
berupa sawah dan kebun, seperti ditunjukkan Prasasti Kamalagi (821 M).
Para petani juga dilindungi oleh undang-undang agar terhindar dari
kesewenang-wenangan. Yang merugikan petani bisa dihukum atau didenda
berat yang langsung dijatuhkan sang raja. Pertanian mencapai masa
kejayaan di zaman Majapahit.Negeri ini butuh kebijakan politik yang pro
petani, bukan malah memarginalkannya. Memang ada yang bilang posisi
tawar petani sekarang sudah naik. Ini memang benar bagi petani
agrobisnis, yang lahan dan modalnya kuat. Namun, bagi mayoritas petani,
dengan lahan sedikit dan mungkin hanya jadi petani penggarap, posisi
tawar mereka masih amat rendah. Karena itu bagi petani macam ini, harus
ada upaya atau kebijakan politis yang sungguh mampu mengangkat derajat
mereka. Ini bisa dimulai dengan mengi-mplementasikan UUPA No 5/1960.
Para petani sudah bosan dengan janji politik yang kosong.
C. Petani Dan Buruh Dalam Pandangan Ekonomi Neoklasik
Menurut pendukung pendekatan liberal neo-klasik yang sejak 1980-an
dikenal jugadengan nama neoliberalisme, isu pokok yang ditangani ilmu
ekonomi adalah
bagaimana menciptakan atau meningkatkan kekayaan atau kemakmuran materiil.
Karena itu, pembangunan ekonomi adalah upaya akumulasi kapital; yang
keberhasilannya diukur dengan produk nasional bruto tahunan. Ideologi
yang mendasari ilmu ekonomi liberal itu juga mengajukan asumsi khas
tentang hakeket manusia. Yaitu, manusia dipandang semata-mata sebagai
“makhluk
ekonomi” yang berperilaku seperti “utility-maximizing machine” (mesin yang
berfungsi memaksimalkan keuntungan) dan hanya memikirkan kepentingannya
sendiri.Manusia dianggap banyak akan bergerak kalau kepadanya
ditunjukkan “iming-iming” yang sifatnya materiil.
Inilah yang mendasari munculnya kebijakan publik yang dalam praktek membanjiri warga masyarakat dengan kepuasan materiil,
dengan harapan kepuasan itu akan menimbulkan ketenangan. Yang dilupakan adalah
perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juba oleh
filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika. Terakhir, pendekatan
liberal neo-klasik itu juga mengembangkan sikap yang khasmengenai
organisasi dan lembaga sosial. Seperti sudah tersirat di atas, lembaga
sosial yang paling diutamakan adalah pasar, sedangkan organisasi dan
lembaga sosial lain dianggap “given”. Yang paling penting adalah
mekanisme pasar. Karenaitu, mereka yang memiliki modal dan melibatkan
diri dalam kegiatan pasar akanmenentukan apa yang akan terjadi dalam
proses ekonomi. Apa peran negara Negara berperan mendefinisikan dan
melindungi hak milik dan menciptakan lingkungan yangmendukung bekerjanya
pasar.sistem perekonomian pemerintah lebih terkesan pro-liberalisme,
sehingga sikap pemerintah menjadi ambigu Sedangkan dalam pandangan
demokrasi liberal seperti diungkapkan oleh Barrington Moore’s (1966),
bahwa kaum borjuis memiliki peran penting dalam proses pembangunan
demokrasi, sedangkan kehadiran kekuatan kelas pekerja yang didasarkan
pada siapa yang berkuasa dalam eksploitasi kaum petani, dianggap
menghambat ke arah pembangunan demokrasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Buruh dan petani, pada umumnya hanya muncul sebagai korban yang
menerima secara pasif proses sosial yang direkayasa oleh kelas-kelas
sosial yang dominan. Padahal, kelas-kelas sosial yang dimarginalkan
tersebut adalah juga subyek atau agen daripada sejarah, yang ikut juga
berperan secara aktif dalam menentukan struktur-struktur yang akan
dihasilkan. Nasib kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin
mengalami proses pemiskinan dan semakin tercerabut hak sosial-ekonomi
dan hak sipil-politiknya. kurang berpikir bahwa petani akan tetap
menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikan kepada asing
hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan tanah mati atau tidur
tersebut bisa dikelola oleh petani Indonesia. bahwa kaum borjuis
memiliki peran penting dalam proses pembangunan demokrasi, sedangkan
kehadiran kekuatan kelas pekerja yang didasarkan pada siapa yang
berkuasa dalam eksploitasi kaum petani, dianggap menghambat ke arah
pembangunan demokrasi.
Saran
Dalam pentusunan makalah ini pastinya masih terdapat berbagai
kekurangan oleh sebab itu saran dan kritikan yang sifatnya membangun
dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini
kedepannya
kalo berkenan , tolong info alamat emailnya ya..., atau respon ke tabloid.inspirasi@gmail.com untuk penerbitan atrikel. terima kasih.
BalasHapussenang bisa berkunjung ke bloga anda, infonya sangat mernarik dan bermanfaat
BalasHapusterimakasih, sukses terus