P E N G A N T A R
Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, karena berkat izin-Nyalah makalah sederhana, dengan judul
“Perkembangan Sistem Kepartaian dan Pemilu Indonesia” ini dapat Penulis
selesaikan.
Selanjutnya Penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut membantu
dalam penyelesaian makalah ini. Karena dalam penulisannya, Penulis
banyak menemukan kesulitan, namun berkat bimbingan dari Guru dan teman –
teman, akhirnya makalah sederhana ini dapat diselesaikan
Penulis
menyadari betul tentang kekurangan makalah ini. Oleh karena itu, Penulis
mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak tentang penulisan di
dalam makalah ini, demi kebaikan Penulis sendiri dan kesempurnaan
makalah sedehana ini.
Semoga makalah sederhana yang telah Penulis selesaikan ini, dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
CIREBON, 31 JANUARI 2012
Penulis
RIZAL FAHMI SAEFUDDIN
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Perjalanan
sejarah partai-partai di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama jika
dibandingkan sejarah bangsa Indonesia. Partai-partai di Indonesia mulai
berdiri hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu mulai
muncul sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang
mengimbau agar bangsa Indonesia mendirikan partai-partai dalam rangka
menyongsong pemilihan umum (baik untuk parlemen/KNIP maupun Badan
Konstituante) yang direncanakan akan segera dilaksanakan.
Sejarah
mencatat bahwa rencana tersebut baru dapat terlaksana tujuh tahun
kemudian, tahun 1955, ketika bangsa Indonesia pertama kali melaksanakan
pemilihan umum anggota DPR yang menghasilkan adanya 27 partai yang
memperoleh kursi di parlemen dari 36 partai yang mengikuti pemilihann
umum. Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai
Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%),
Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39
kursi/15,4%) (Kevin Raymond Evans, 2003: 14).
Sejarah partai politik
Indonesia mencatat bahwa inilah satu-satunya pemilu (yang dapat
dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun masa Orde Lama)
yang dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan partai-partai politik
masa Orde Lama. Sampai dengan berakhirnya Orde Lama pada pertengahan
dekade 1960-an, tidak ada lagi pemilihan umum yang dapat dipergunakan
untuk mengukur distribusi kekuatan antarpartai secara nasional. Hal ini
perlu ditekankan karena di luar pemilu secara nasional tersebut,
terdapat beberapa kali pemilu daerah dan lokal yang pernah dilaksanakan
di Indonesia pada masa Orde Lama, yaitu pemilu 1957 (untuk wilayah Jawa
dan Sumatera Bagian Selatan), pemilu 1958 (untuk wilayah Kalimantan),
1948 (pemilu lokal Yogyakarta), 1951 (pemilu lokal Minahasa dan Sangihe
Talaud), 1952 (pemilu lokal Makassar), 1961 (pemilu lokal Papua yang
waktu itu masih di bawah kekuasaan Belanda). Bagaimana perkembangan
sistem kepartaian di Indonesia, apakah menunjukkan kecenderungan semakin
matang atau sebaliknya, justru semakin mundur?
Tulisan berikut akan
memberikan analisis perkembangan sistem kepartaian di Indonesia dengan
mengkaji tiga variabel, yaitu jumlah partai politik, distribusi kekuatan
antarpartai politik (dengan membandingkan kursi yang dimenangkan dalam
pemilu) dan integrasi sistim kepartaian (dengan menganalisis jarak
ideologi antarpartai politik). Dan lebih lanjut juga akan memberikan
gambaran bagaimana pelaksanaan pemilu selama 64 tahun kemerdekaan
Indonesia.
2. Tujuan
a. Mendeskripsikan perkembangan sistem kepartaian Indonesia
b. Mendeskripsikan pelaksanaan dan perkembangan pemilu di Indonesia
3. Rumusan Masalah
Bagaimana Sistem Kepartaian dan Pemilu ?
Bagaimana Perkembangan Sistem Kepartaian Indonesia ?
c. Bagaimana Sejarah Pelaksanaan Pemilu di Indonesia?
4. Kerangka Teoritis dan Konseptual
a. Teori Sistem Politik dan Negara
Sistem
Politik adalah sebagai serangkaian proses yang terdiri dari banyak
bagian-bagian, saling berkaitan yang menjalankan alokasi nilai-nilai
(berupa kebijakan-kebijakan atau keputusan) yang alokasinya bersifat
otoritatif (dikuatkan oleh kekuasaan yang sah sah) dan mengikat
masyarakat.
Teori ini mulai mencuat pada awal 1950-an. Tiga penulis
terkenal dalam mengembangkan teori ini adalah : David Easton, dalam
bukunya yang berjudul “The Politic System”, konsep yang ditawarkan
seperti : konsep input / output, tuntutan (demands) dan dukungan
(support), serta umpan balik (feedback).
Tokoh yang kedua adalah
Gabriel Almond. Awalnya Almod menawarkan suatu klasifikasi sederhana
tentang sistem – sistem politik (“Journal of Politics”), yang mencakup
sistem politik di luar dunia Barat, negara – negara yang baru merdeka.
Tokoh yang ketiga : Karl Deutsch, dengan karyanya “Nerves of Government“
b. Teori Partai Politik
Sebagai
bagian dari sebuah kelembagaan dalam konteks negara demokratis, partai
politik memiliki posisi (Status) dan peranan (Role) yang begitu sentral
dalam menghubungkan pandangan-pandangan umum yang timbul dalam
masyarakat dengan pemerintah. Seorang tokoh yaitu Schattscheider
berpendapat mengenai peranan partai politik yang memiliki peran dalam
pembentukan corak demokrasi dalam suatu negara, ia menyatakan “Political
parties created democracy”.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 2
Tahun 2008 pengertian partai politik seperti yang telah disebutkan di
atas adalah sebuah lembaga nasional yang diidentifikasikan sebagai
lembaga yang mengedepankan kepentingan politik anggota-anggotanya.
Fungsi
partai politik dibedakan kepada tiga keadaan yang berbeda, yaitu di
negara demokratis (dalam hal ini lebih cenderung kepada negara maju),
negara otoriter, dan negara berkembang. Adapun fungsi partai politik
dalam negara demokratis sangat kentara dan bekerja sebagai layaknya
sebuah partai politik, pada negara berkembang tujuan dan fungsi partai
politik hampir serupa dengan negara demokratis, namun ada beberapa
permasalahan sosial kemasyarakatan yang menghambat efektifitas
kinerjanya, adapun pada negara otoriter partai politiktergantung apakah
partai politik tersebut berkuasa atau tidak, apabila partai politik
tersebut berkuasa maka secara otomatis dia akan mudah menrealisasikan
tujuannya namun berbeda apabila partai tersebut tidak berkuasa maka
fungsinya tidak bisa berjalan untuk kepentingan umum, partai komunis
yang berkuasa bertujuan untuk mencapai kekuasaan yang dijadikan batu
loncatan untuk menguasai semua partai politik yang ada dan menghancurkan
sistem politik yang demokratis.
Selanjutnya Kay Lawson mengemukakan
bahwa partai politik memiliki klasifikasi yang antara lain sistem partai
tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai. Sistem multipartai
adalah format sistem yang umum di beberapa negara di dunia yang
berdasarkan sistem perwakilan proporsional, dalam tipe ini proporsi
jumlah kursi di dewan perwakilan tergantung jumlah proporsi suara yang
diterima pada pemilihan, dan apabila dalam pemilihan tidak ada satu
partai pun yang memenangkan suara mayoritas, maka konsekwensinya adalah
pembentukan pemerintahan koalisi. Sedangkan dalam sistem dua-partai
tunggal kontrol pemerintahan hanya berkutata dengan dua partai tersebut
saja. Adapun yang terakhir adalah sistem partai tunggal yang pada
umumnya terdapat dalam sistem negara komunis, dalam sistem ini tidak ada
kompetisi dan perbedaan pandangan dengan partai politik yang lain.
c. Pemilu
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara
dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh
aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah
ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para
pemilih.
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana untuk mewujudkan
asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta
suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
(berkaitan dengan istilah “demokrasi”)
d. Demokrasi
Secara
etimologi demokrasi adalah gabungan dua kata yaitu Demos (Masyarakat)
dan Kratos (Memerintah). Sedangkan secara terminologi Demokrasi adalah
suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan rakyat,
namunpengertian yang sederhana tersebut pada kelanjutannya akan
berkembang sesuai dengan konfigurasi politik yang terus berkembang
seperti halnya pada abad ke 19 yang melahirkan paham demokrasi
konstitusional yang kemudian berkembang menjadi negara hukum dan
kesejahteraan welfare state. Pada tatran negara demokratis modern, Henry
B. Mayo mendefinisikan bahwa:
“sistem pemerintahan yang demokratis
ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan
politik.”
5. Metode Pengumpulan Data
Studi literatur / pustaka :
a. Buku – buku yang terkait
b. Berbagai sumber dari situs internet
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
1. Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu
Dari
beberapa hasil studi menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia
ini memiliki partai. Tak terkecuali negara-negara yang tergolong,
sebagai negara berkembang. Partai telah diyakini sebagai komponen
penting dalam sistem pemerintahan buat membangun sistem politik yang
demokratis. Dengan adanya politik partai diharapkan semua aspirasi
rakyat yang heterogen dapat terakomodasi secara proporsional lewat
pemilu. Melalui hasil pemilu roda pemerintahan dijalankan untuk mencapai
negara sejahtera (welfare state) seperti yang dicita-citakan. Tetapi
dalam banyak kasus terutama di negara berkembang keberadaan partai
justru telah menimbulkan pemerintahan yang tidak efektif, inefisien,
bahkan tidak jarang menimbulkan chaos. Lain halnya di negara maju
(developed countries) sistem kepartaian di negara ini sudah mapan,
terdiri dari dua partai, seperti USA dan Kanada atau beberapa partai
seperti, Italia dan Perancis. Di Indonesia sistem kepartaian mempunyai
sejarah yang cukup panjang. Pada era pasca revolusi sistem kepartaian
mengalami masa boom partai. Tetapi banyaknya partai justru menjadikan
instabilitas di semua sektor. Reformasi partai politik dimulai pada masa
Orde Baru dengan melakukan fusi dari multi partai menjadi beberapa
partai dan mengurangi kekuatan partai dengan floating mass dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975. Sedangkan pada tahun
1999 terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum.
Pemilu
dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan.
Pemilu membutuhkan partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai
politik membutuhkan pemilu sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang
akan duduk dalam legislatif maupun kabinet. Meskipun partai politik
sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tetapi pemilu di Indonesia baru
dilaksanakan pada tahun 1955. Pada masa itu digunakan sistem multi
partai dan sistem perwakilan berimbang atau proporsional. Dalam
prakteknya sistem ini justru menimbulkan distorsi dan friksi. Terbukti
dari tidak bertahan lamanya kabinet yang dibentuk dan sering terjadi
konflik. Kondisi ini menjadikan pemerintah pada waktu itu tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Setelah dilakukan reformasi dan
dilaksanakannya Pemilu 1971 fungsi pemerintah berjalan normal. Barometer
kesuksesan pelaksanaan Pemilu 1971 dipakai acuan untuk Pemilu
selanjutnya.
Fungsi Partai Politk
Partai politik umumnya
dianggap sebagai manifestasi dari sistem politik yang sudah modern atau
yang dalam proses modernisasi diri. Sebagai sistem politik, partai
politik mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam mewujudkan dasar
ideologi bahwa rakyat berhak turut menentukan calom pemimpin yang
nantinya menentukan kebijakan umum (publik policy). Dalam berbagai
literatur partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana komunikasi
politik (instrumentof political comunication), sosialisasi politik
(instrument of political socialization) rekrutmen politik (selection of
leadership), dan pengatur konflik (conflict management). Namun fungsi
ini akan bergeser makna tergantung pada sistem ideologi politik yang
melatarbelakangi rejim yang berkuasa, seperti fungsi partai politik di
negara tirani akan berbeda makna dengan fungsi partai politik di negara
sosial atau kapitalis.
Arti dan Fungsi Partai Politik di Indonesia
Secara
teoritis pengertian partai politik di mana pun sama. Namun dalam
prakteknya sering terjadi distorsi karena pengaruh berbagai hal. Di
Indonesia misalnya, arti dan fungsi partai politik sedikit bergeser
makna. Partai politik bukannya berfungsi sebagai sarana penghubung
rakyat dengan pemerintah tetapi sebagai sarana berkonflik dengan
pemerintah. Di Indonesia setiap terjadi perubahan pemerintah terjadi
perbedaan interpretasi terhadap partai politik.
Hal ini lantaran
setiap pemerintahan membawa visi, misi dan tujuan yang tidak selalu
sama. Karena perbedaan itu sejarah perkembangan partai politik di negara
kita dapat dikategorikan menjadi periode masa revolusi atau pada masa
pemerintahan kolonial, periode Demokrasi Liberal, periode Demokrasi
Terpimpin dan periode Demokrasi Pancasila
Pengertian Pemilu
Pemilihan
umum merupakan manifestasi kongkret dari kedaulatan rakyat. Dalam
pemilihan umum rakyat memilih wakil-wakil dalam parlemen untuk kemudian
diharapkan dapat memperjuangkan aspirasinya. Pada pemerintahan kota
Yunani Kuno pernah dilakukan demokrasi langsung. Artinya hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh
seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Sifat langsung ini dapat terselenggara barangkali karena sederhana.
Pasca perang dunia II atau dalam negara modern sekarang ini akan sulit
jika dilakukan pemilihan secara langsung karena masalah ruang, waktu dan
biaya. Maka banyak negara yang menganut paham demokrasi dalam
pelaksanaan pemilu memilih menggunakan sistem perwakilan (representative
democracy). Setiap sistem pemilihan masing-masing mempunyai kekurangan
dan kelebihan. Tetapi keduanya akan berjalan lebih efektif dan
demokratis jika diselenggarakan secara Luber dan Jurdil.
Pelaksanaan
pemilu sebagai wujud dari kedaulatan rakyat merupakan salah satu pesta
demokrasi yang melelahkan. Betapa tidak, pelaksanaan pemilu melibatkan
kurang dari 12 kegiatan. Maka tak pelak jika penyelenggaraan pemilu pada
umumnya dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Seperti di Indonesia
misalnya, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud
konkret kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan
kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan
menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan
memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti
yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas
pemilu adalah pelaksanaan asas LUBER dan JURDIL yaitu kepanjangan
akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan Adil.
Macam-macam Sistem Pemilu
Pemilihan
umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem
demokrasi. Hal ini lantaran dalam pemilihan umum setiap warga dapat
mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai
mewakili lembaga legislatif. Dalam ilmu politik ada dua prinsip utama
pelaksanaan sistem pemilihan umum, yakni pemilihan umum menggunakan
sistem distrik dan proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Pada
sistem distrik jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan berdasarkan
jumlah distrik. Setiap distrik mempunyai satu wakil dari masing-masing
parpol kontestan pemilu. Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang
suatu negara dipecah-pecah ke dalam suatu daerah pemilihan. Setiap
daerah memilih sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk yang ada
dalam daerah pemilihan tersebut. Jumlah wakil yang akan duduk di DPR
tergantung dari perolehan suara hasil pemilu. Baik sistem distrik maupun
proporsional keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.
2. Perkembangan Sistem Kepartaian Indonesia
Dalam
perkembangan dan sejarahnya, pada pelaksanaan pemilu di Indonesia tahun
1955 (pemilu untuk memilih anggota parlemen/KNIP dan Badan
Konstituante) diikuti oleh 36 partai politik. Dari 36 partai yang
bersaing, terdapat sepuluh partai yang memperoleh suara lebih dari 1
(satu) persen, yaitu (berturut-turut nama partai, perolehan kursi dan
persen suara): Partai Nasional Indonesia (57/22,3%), Majlis Syuro
Muslimin Indonesia/Masyumi (57/20,3%), Nahdlatul Ulama/U (45/18,4%),
Partai Komunis Indonesia/PKI (39/15,4%), Partai Syarikat Islam
Indonesia/PSII (8/2,9%), Partai Kristen Indonesia/Parkindo (8/2,6%),
Partai katholik/Parkat (6/2,0%), Partai Sosialis Indonesia/PSI (5/2,0%),
Ikatan Perintis Kemerdekaan Indonesia/IPKI (4/1,4%), dan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah/Perti (4/1,3%).
Meski sistem kepartaiannya sangat
plural, distribusi kekuatan antarpartai menunjukkan bahwa empat partai
terbesar merupakan mayoritas dengan mengumpulkan total suara 77%.
Pemilihan Umum tahun 1971 yang diikuti sepuluh partai menghasilkan
distribusi kekuatan antarpartai sebagai berikut: kelompok-kelompok
partai nasionalis memperoleh suara sekitar 10%, kelompok partai-partai
agama (NU, PPP, dan Parmusi) sekitar 25% dan Golongan Karya sekitar 65%.
Dominasi Golongan Karya terjadi pada keseluruhan pemilu masa Orde Baru
(yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997). Angka-angka
perbandingan ini hampir tidak mengalami perubahan berarti selama masa
Orde Baru. Meski demikian perlu digarisbawahi bahwa dominasi Golongan
Karya yang luar biasa terjadi pada Pemilu 1987 dan 1997 ketika Golongan
Karya memperoleh suara sekitar 75%. Pada Pemilu 1987, PPP mengalami
penurunan suara yang drastis, sementara pada Pemilu 1997 gantian PDI
yang mengalami penurunan suara sangat signifikan sebagai buntut
perpecahan internal yang menyebabkan terjadinya penyerangan kantor DPP
PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Pada masa reformasi, distribusi
kekuatan antarpartai mengalami fluktuasi. Pemilu 1999 menghasilkan 6
partai yang memperoleh kursi DPR (dari 48 partai yang bertarung dalam
pemilu) dengan komposisi kursi sebagai berikut: PDI-P (153), Partai
Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (41), dan PBB (13). Pemilu 2004
yang diikuti partai yang lebih sedikit dibanding pemilu 1999 (hanya 24
partai) justru menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai yang jauh
lebih bervariasi. Berturut-turut jumlah kursi yang dimenangkan adalah
Partai Golkar (133), PDI-P (108), PPP (57), Partai Demokrat (57), PKB
(53), PAN (49), PKS (45), PBR (13), PBB (11), PDS (10), PKPI (3), Partai
Merdeka (2), PKPB (2), PPDK (2), PPIB (1), PPDI (1). Dengan demikian,
dari 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004, terdapat 16 partai yang
memperoleh kursi DPR; tetapi dari 16 partai yang memperoleh kursi DPR
tersebut hanya sepuluh partai yang memperoleh sepuluh kursi atau lebih,
dan hanya tujuh partai yang memperoleh kursi lebih dari lima persen.
Meski
perhitungan perolehan kursi DPR belum selesai dilakukan oleh KPU, tapi
dari hasil perhitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei
menunjukkan hasil sementara (yang biasanya tidak akan jauh beda dengan
hasil sesungguhnya) sepuluh besar partai di Indonesia kurang lebih
sebagai berikut: Partai Demokrat (20,1%), Partai Golkar (14,2%), PDI-P
(14%), PKS (8,2%), PAN (6,3%), PPP (5%), PKB (5%), Partai Hanura (4%),
Gerindra (3%), PBR (1,3%). Hasil Pemilu 2004 dan 2009 menunjukkan meski
perolehan suara sepuluh besar partai di Indonesia berubah-ubah (kecuali
PKS dan PAN yang relatif stabil), tetapi dari puluhan partai yang ikut
pemilu memang hanya sepuluh partai yang bisa memperoleh kursi atau suara
lebih dari 1%.
Hasil-hasil ini kurang lebih mengulang hasil Pemilu
1955. Perbandingan hasil berbagai pemilu di Indonesia dari masa Orde
lama, Orde Baru dan Reformasi menunjukkan bahwa sebenarnya memang
maksimal hanya sepuluh partai saja yang secara konsisten dapat
memperoleh dukungan masyarakat. Distribusi perolehan suara antarpemilu
juga menunjukkan bahwa distribusi kekuatan suara antarpartai semakin
merata. Jika Pemilu 1955 menghasilkan perolehan suara empat partai
terbesar adalah 77%, tahun 2004 empat partai terbesar hanya memperoleh
sekitar 60%, dan tahun 2009 hanya sekitar 57%.
Jelas bahwa meski
jumlah partai yang mampu memperoleh suara signifikan konsisten pada
angka sekitar 10 partai, tetapi distribusi kekuatan antarpartai semakin
merata. Hal ini tentu terkait dengan potensi integrasi sistem
kepartaiannya.Integrasi: Semakin Dekat atau Semakin Jauh?
Ukuran
integrasi sistem kepartaian adalah jarak ideologis partai-partai yang
membentuk sistem kepartaian. Berbeda dengan Pemilu 1955 yang menunjukkan
adanya jarak ideolois yang esktrem (antara PKI yang di ujung kiri
spektrum ideologi dan Masyumi yang di ujung kanan), maka pemilu masa
reformasi menunjukkan jarak ideologi antarpartai yang semakin dekat.
Meski
terdapat partai-partai yang dapat dikategorikan sebagai “partai kiri”,
yaitu Partai Buruh dan Partai Rakyat Demokratik, tetapi kedua partai ini
tidak mendapat dukungan masyarakat. Sementara itu partai-partai agama
(terutama partai-partai Islam) mengalami degradasi suara sangat drastis,
dari lebih dari 40% pada Pemilu 1955 menjadi hanya sekitar sekitar 20%
pada masa reformasi. Data tentang perolehan suara ini juga konsisten
dengan dua kenyataan: tidak ada lagi partai yang mempersoalkan Piagam
Jakarta dan hampir tidak ada lagi yang menjadikan isu agama sebagai isu
utama kampanye pemilu. Isu yang pada umumnya diusung adalah masalah
moral.
Jelas bahwa partai-partai di Indonesia semakin bergerak ke
tengah dalam spektrum ideologi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa
preferensi pemilih juga semakin bergerak ke tengah. Dari sisi ideologi
dan potensinya untuk memunculkan konflik berbasis ideologi, pergerakan
ideologi partai dan preterensi pemilih yang semakin ke tengah ini
semakin memperkecil potensi konflik. Meski demikian, hal ini sangat
ironis dengan perkembangan jumlah partai yang semakin banyak. Semestinya
semakin sederhana spektrum ideologi partai maka tentunya jumlah partai
yang bersaing juga semakin sedikit karena tidak ada beda antara partai
satu dengan partai lainnya. Jelas bahwa semakin banyaknya jumlah partai
di Indonesia tidak memiliki landasan teoritik ideologis yang jelas.
Tidak jelas apa yang sedang diperjuangkan oleh partai-partai yang
memiliki ideologi yang sama.
Indonesia beruntung tidak memiliki
partai-partai nasional yang berbasis ideologi kesukuan dan kedaerahan
(kecuali partai lokal di Aceh) sehingga tidak memiliki ancaman konflik
atas dasar perbedaan ideologi kesukuan dan kedaerahan.India yang
merupakan negara demokrasi terbesar di dunia dan Malaysia memiliki
ancaman ini karena memiliki partai-partai yang jelas dipengaruhi
ideologi kesukuan dan kedaerahan ini. Semestinya kelebihan ini ditambah
dengan semakin dekatnya jarak ideologi partai-partai dapat mendorong
munculnya sistim kepartaian yang semakin sederhana dan ramping. Hal ini
bukan hanya akan membuat partai-partai yang seideologi semakin kuat
(karena menghimpun kekuatan), tetapi juga tidak membingungkan pemilih
dalam pemilu dan akan membuat pemilu semakin murah (bayangkan jumlah
biaya yang dapat dihemat untuk verifikasi partai saja dan jumlah kertas
yang dapat dihemat untuk mencetak kartu suara). Ironisnya, ketika
masyarakat Indonesia semkain terdidik (dengan semakin besarnya
persentase warga masyarakat yang dapat lulus pendidikan yang lebih
tinggi), para politisi justru terlihat “semakin bodoh” dengan membabi
buta mendirikan partai meski tidak laku di masyarakat. Apakah kita harus
terus menerus menanggung harga dari perbuatan para petualang politik
ini? Marilah secara konsisten kita memberi pelajaran kepada para
politisi dengan secara terus-menerus hanya memilih partai yang jelas
dasar keberadaannya, yang bukan sekedar “bertualang”. Membangun
demokrasi memang perlu waktu lama, jangan sampai kita patah arang di
tengah jalan.
Zaman Penjajahan Belanda
Pada zaman
penjajahan Belanda, partai – partai politik tidak dapat hidup tenteram.
Tiap partai yang bersuara menentang atau bergerak tegas, akan segera
dilarang, pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai
politik yang pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang
didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung dan dipimpin oleh
Tiga Serangkai, yaitu Dr. Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki
Hadjar Dewantara. Tujuan partai itu adalah Indonesia lepas dari Belanda.
Partai itu hanya berusia 8 bulan karena ketiga pemimpin masing – masing
dibuang ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda.
Zaman Penjajahan Jepang
Pemerintahan
militer Jepang mula – mula melarang dan membubarkan partai – partai
politik yang telah ada. Namun kemudian disetujui berdirinya partai
politik yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di bawah pimpinan “
Empat Serangkai “, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hadjar
Dewantara, K.H Mansyur. Atas perintah pemerintah Jepang partai ini
kemudian dibubarkan pada bulan Maret 1944
Zaman Kemerdekaan Indonesia (Orde Lama)
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan dipertimbangkan semula untuk memusatkan tenaga
perjuangan rakyat hany dalam satu partai saja. Pertimbangan itu kemudian
dilepaskan pada tanggal 3 November 1945. Pemerintah RI mengeluarkan
suatu maklumat yang antara lain menyatakan bahwa pemerintah menginginkan
timbulnya partai politik, karena dengan adanya partai – partai itulah
rakyat dapat dipimpin secara teratur.
Menurut maklumat itu tugas
partai – partai terutama ialah untuk menyalurkan aliran yang tumbuh dan
hidup didalam masyarakat, sehingga dapat mempermudah pelaksanaan pemilu.
Bedasarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 timbulah partai –
partai politik di Indonesia laksana jamur di waktu hujan. Pemilihan
umum yang diadakan tahun 1955 diikuti oleh 28 partai politik dan
organisasi politik.Banyaknya partai politik dalam sistem pemerintahan
parlementer telah mengakibatkan tidak stabilnya pemerintah, kabinet
silih berganti dalam waktu yang relatif singkat. Banyak di antara partai
– partai tersebut kemudian dilarang atau ditolak pengakuannya oleh
pemerintah. Adapun partai – partia yang diakui oleh pemerintah Indonesia
dan yang ada pada saat pemilihan umum tahun 1971 adalah sebagai berikut
:
a) Partai Nasional Indonesia (PNI)b) Nahdatul Ulama (NU)c) Partai
Katolikd) Partai Indonesia (PARTINDO)e) Partai Murbaf) Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII)g) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)h)
Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)i) Partai Islam Perti (Persatuan
Tarbiah Islamiyah)j) Partai Muslim Indonesia (PARMUSI)
Zaman Orde Baru
Pada
tanggal 5 Januari 1973 NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI telah memfungsikan
politiknya dalam satu partai politik yang bernama Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik pada
tanggal 10 Januari 1973 telah berfusi dalam satu wadah yang bernama
Partai Demokrasi (PDI)Maka sesuai dengan Tap MPR No VIII / 1973 ,
pemilihan umum yang diselenggarakan selambat – lambatnya akhir tahun
1977 akan dikuti oleh 2 golongan politik PPP dan PDI dan ditambah 1
Golongan Karya (GOLKAR) yang dibentuk sejak tahun 1971.
Dua partai
politik dan golongan karya sebagai kesatuan politik pada masa Orde Baru
yang mengikuti pemilu pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang
didasarkan pada UU No. 3 Tahun 1975 yang diganti dengan UU Tahun 1985.
Dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang ditanda tangani dengan pengunduran
diri Presiden Soeharto 21 Mei 1998 yang karena diduga melakukan
banyaknya Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN).
Zaman Reformasi
Perubahan
yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah,
keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik,
mengerahkan massa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi
memperebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia
adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan – kekuatan masyarakat yang
disalurkan melalui partai – partai politik sebagai pilar demokrasi.
Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang
kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan
lahirnya partai – partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia.
Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara
yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya adalah
dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah
ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini
mengakibatkan bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk
segera keluar dari krisis multidevresional yang sudah berjalan.
Pada
pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar. Perubahan
tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23.
Untuk menindak lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut
dibuatlah UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung. Yang
dalam penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari
kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk
memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden yang semuanya dilaksanakan menurut Undang – Undang
sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa “ Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
gabungan – gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksaaan
pemilihan umum “.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun
sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL (
Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil ) yang
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional
tetap dan mandiri.
Sejarah Sistem Kepartaian di Indonesia (ORLA – ORBA – REFORMASI)
Periode
Sistem Pemerintahan
Sistem Partai
1903 – 1942
Zaman Kolonial
Sistem multi - partai
1942 – 1945
Zaman Pendudukan Jepang
Partai politik dilarang
17 Agust 1945- 1959
(ORLA)
Zaman Demokrasi Parlementer
A. Masa Perjuangan
17Agust – 14Nov 1945
1. Sist. Presidensial, UUD 1945
Satu Partai PNI
14 Nov - 17Agust ‘45
2. Sist. Parlementer, UUD 1945
Sistem Multi Partai
1949 – 1950
3. Sist. Parlementer, UUD RIS
Sistem Multi Partai
1950 – 1955
B. Masa Pembangunan (Building Nation)
4. Sist. Parlementer, UUD 1950
Sistem Multi Partai.
Pemilu 1955 menghasilkan 27 partai dan 1 perorangan yang memperoleh kursi di DPR
1955 – 1959
5. Sist. Parlementer, UUD 1950
Sistem Multi Partai
1959 - 1965
Demokrasi Terpimpin, UUD 1945
1. 1959
Maklumat
Pemerintah 3 November 1945 dicabut. Diadakan penyederhanaan partai
sehingga hanya ada 10 Partai yang diakui (PKI, PNI, NU, Partai Katolik,
Partindo, Parkindo, Parta Murba, PSII Arujdi, IPKI dan Partai Islam
Perti. Masyumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960)
2. 1960
Dibentuk Front Nasional yang mewakili semua kekuatan politik. PKI masuk berdasarkan prinsip Nasakom. ABRI masuk lewat IPKI.
1965 – 1998 (ORBA)
Demokrasi Pancasila, UUD 1945
1. 1966
PKI dan Partindo dibubarkan
2. 27 Juli 1967
Konsensus Nasional a.l. 100 anggota DPR dianggat.
3. 1967 - 1969
Eksperimen dwi – partai dan dwi – group dilakukan di beberapa kabupaten di Jabar, namun dihentikan pada awal 1969.
4. 1971
Pemilu dengan 10 Partai.
5. 1973
Penggabungan partai menjadi 3 Partai (Golkar, PDI, PPP)
6. 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Pemilu hanya diikuti oleh 3 orsospol (sist. Multi Pastai terbatas) PPP, Golkar, PDI.
7. 1982
8. 1984
Pancasila satu – satunya asas.
NU Khittah
9. 1966
PDI pecah
1998 (21 Mei) - …..
(REFORMASI)
Reformasi, UUD 1945 yang diamandemen
1. 1999 (Juni)
2. 2004 (April)
Kembali ke system multi – partai.
Pemili dengan 46 Partai.
3. Perkembangan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR,
disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun
dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu
diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari
rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering
merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden
yang diadakan setiap 5 tahun sekali.
Asas
Pemilihan umum di
Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung,
Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru.
Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung
dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti
seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas
berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari
pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh
pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian
di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan
dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum
harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap
warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya
dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil
rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama
terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun
diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil
mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga
penyelenggara pemilu.
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Sepanjang
sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota DPR,
DPD, dan DPRD, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
1997, 1999, 2004, dan 2009.
Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.
Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di
bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali
Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala
pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
2. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 10 partai politik.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.
Pemilu 1977-1997
Pemilu-Pemilu
berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto.
Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai
peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya
diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu
tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
Pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang
diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid
(Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini
dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk
memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan
wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pemilu 2004
Pemilu
2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih
langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres
2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono.
Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan
calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua
digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara
Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian
kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang
belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara.
Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya
Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.
Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh
suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.
Berikut adalah bagan “Sejarah Pemilu di Indonesia” (1955-2004)
Tahun Pemilu
Sistem Pemilu
1955
Menggunakan
Sistem Proposional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan
jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili 1 anggota DPR.
Menggunakan Stelsel Daftar Mengikat dan Stelsel Daftar bebas. Pemilih
dapat memberikan suaranya kepada calon yang ada di dalam daftar (ini
merupakan ciri sistem distrik) dan bisa juga diberikan kepada partai.
Suara yang diberikan kepada calon akan diperhitungkan sebagai perolehan
suara calon yang bersangkutan, sedangkan yang diberikan kepada partai,
oleh partai akan diberikan kepada calon sesuai nomor urut. Seseorang
secara perorangan, tanpa melalui partai, juga dapat menjadi peserta
pemilu.
Calon yang terpilih adalah yang memperoleh suara sesuai BPPD
(Bilangan Pembagi Pemilih Daftar). Apabila tidak ada calon yang
memperoleh suara sesuai BPPD, suara yang diberikan kepada partai akan
menentukan. Calon dengan nomor urut atas akan diberi oleh suara partai,
namun prioritas diberikan kepada calon yang memperoleh suara melampaui
setengah BPPD.
Kursi yang tidak habis dalam pembagian di daerah
pemilihan akan dibagikan di tingkat pusat dengan menjumlahkan sisa –
sisa suara dari daerah – daerah pemilihan yang tidak terkonversi menjadi
kursi.
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
Menggunakan
Sistem Proporsional dengan Stelsel Daftar Tertutup. Pemilih memberikan
suaranya hanya kepada partai, dan partai akan memberikan suaranya kepada
calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan
berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah mendapat bagian
suara cukup untuk kuota 1 kursi.
Untuk pemilu anggota DPRD,
pemilihannya adalah wilayah provinsi, sedangkan DPRD I, daerah
pemilihannya adalah satu provinsi yang bersangkutan , dan untuk DPRD II,
daerah pemilihannya pada Dati Iiyang bersangkutan. Namun ada sedikit
warna Sistem Distrik di dalamnya, karena setiap kabupaten diberi jatah 1
kursi anggota DPR untuk mewakili daerah tersebut.
Pada pemilu tahun – tahun ini, setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk.
2004
Ada
satu lembaga baru di dalam lembaga legislatifyaitu DPD (Dewan
Perwakilan Daerah). Untuk pemilu anggota DPD digunakan sistem distrik
tetapi dengan 4 Kursi untuk setiap provinsi. Daerah pemilihannya adalah
wilayah provinsi. Pesertanya adalah individu. Karena setiap provinsi /
daerah pemilihan mempunyai jatah 4 kursi, dan suara dari kontestan yang
kalah tidak dapat dialihkan maka sistem yang digunakandisini dapat
disebut dengan Sistem Distrik dengan Wakil Banyak (Block Vote).
Untuk
pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan Sistem Proposional, dengan
Stelsel Daftar Terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya
secara langsung kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini, pemilih
memberikan suaranya kepada partai, calon yang berada pada urutan teratas
mempunyai peluang besar untuk terpilih karena suara pemilih yang
diberikan kepada partai menjadi hak calon yang berada di urutan teratas.
Jadi, terdapat kemiripan sistem yang digunakan dalam Pemilu anggota DPR
dan DPD tahun 2004 dan 1955. bedanya, pada pemilu 1955 terdapat
prioritas untuk memberikan suara lebih dan setengah BPPD.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemilu
dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan.
Pemilu membutuhkan partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai
politik membutuhkan pemilu sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang
akan duduk dalam legislatif maupun kabinet.
Dari beberapa hasil studi
menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini memiliki partai.
Tak terkecuali negara-negara yang tergolong sebagai negara berkembang,
Indonesia. Partai telah diyakini sebagai komponen penting dalam sistem
pemerintahan buat membangun sistem politik yang demokratis. Dengan
adanya politik partai diharapkan semua aspirasi rakyat yang heterogen
dapat terakomodasi secara proporsional lewat pemilu. Melalui hasil
pemilu roda pemerintahan dijalankan untuk mencapai negara sejahtera
(welfare state) seperti yang dicita-citakan. Di Indonesia sistem
kepartaian mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada era pasca revolusi
sistem kepartaian mengalami masa boom partai. Tetapi banyaknya partai
justru menjadikan instabilitas di semua sektor. Reformasi partai politik
dimulai pada masa Orde Baru dengan melakukan fusi dari multi partai
menjadi beberapa partai dan mengurangi kekuatan partai dengan floating
mass dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975. Sedangkan
pada tahun 1999 terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti
pemilihan umum.
Di Indonesia, pemilu dilaksanakan setiap
lima tahun sekali. Sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat maka
pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan.
Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu
sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih
baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah
satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan
asas LUBER dan JURDIL yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas,
Rahasia dan Jujur dan Adil.
Pemilihan umum sering dikatakan
sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran
dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya
untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Dalam
ilmu politik ada dua prinsip utama pelaksanaan sistem pemilihan umum,
yakni pemilihan umum menggunakan sistem distrik dan proporsional atau
sistem perwakilan berimbang. Pada sistem distrik jumlah wakil rakyat
dalam DPR ditentukan berdasarkan jumlah distrik. Setiap distrik
mempunyai satu wakil dari masing-masing parpol kontestan pemilu.
Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang suatu negara dipecah-pecah ke
dalam suatu daerah pemilihan. Setiap daerah memilih sejumlah wakil
sesuai dengan jumlah penduduk yang ada dalam daerah pemilihan tersebut.
Jumlah wakil yang akan duduk di DPR tergantung dari perolehan suara
hasil pemilu. Baik sistem distrik maupun proporsional keduanya mempunyai
kelebihan dan kekurangan.
Izin berkunjung dan menyimak langsung artikelnya gan??
BalasHapus