Selasa, 31 Januari 2012

PENDIDIKAN YANG DISKRIMINATIF?


Membaca petikan pernyataan Dubes RI untuk Swiss yang mengatakan bahwa sistem pendidikan di negeri asal petenis terkemuka FedEx tersebut telah mempersiapkan generasi mudanya sejak kelas 3 SMP, cukup membuat saya menjadi tertegun. Tertegun dengan sistem pendidikan yang memilih hanya siswa-siswa yang pandai dan berbakat saja yang diijinkan untuk ke jenjang Universitas, yang sebelum masuk Universitas mereka dibina dilembaga Gymnasium (sekolah setara dengan SMA di Indonesia). Bagi siswa yang memiliki tingkat kecerdasan dibawahnya akan diarahkan untuk mengambil sekolah umum atau sekolah kejuruan, yang selanjutnya bisa masuk jenjang pendidikan tinggi baik Politeknik, Akademi atau yang setingkat dengan itu. Sistem ini juga diterapkan di negara Republik Federal Jerman. Yang menjadi pertanyaan pertama adalah diskriminatifkah sistem pendidikan yang demikian?
Yang perlu pertama kali disadari oleh kita semua sebelum menjawab pertanyaan pada bagian pertama adalah pemahaman tentang makna pendidikan tinggi yang sebenarnya.  Dalam situs resmi DAAD (Kementerian Pendidikan Jerman) disebutkan bahwa terdapat tiga jenis pendidikan tinggi di Jerman, yaitu University, University of Applied Science, serta College. Universitas, atau yang dalam bahasa Jerman “Universität”, adalah lembaga pendidikan tinggi yang ditujukan untuk riset serta menghasilkan Doktor. Universitas lebih menekankan kepada pengembangan ilmu serta penemuan baru. SedangkanUniversity of Applied Science bertujuan untuk memberikan pembelajaran kepada siswa tentang kaidah-kaidah ilmiah yang dapat diterapkan pada tingkatan profesional. Program tersebut memungkinkan mahasiswa untuk menerapkan ilmunya dalam dunia pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmunya. Dan yang terakhir adalah College, yaitu lembaga pendidikan tinggi yang disiapkan untuk mempelajari materi yang beriorientasi pada desain, seperti college of art, college of music dan sejenisnya.
Penerapan sistem pendidikan yang berjenjang dan “terkesan memilih” tersebut sangat dipatuhi rakyat Jerman maupun Swiss tanpa banyak protes atas nama HAM serta tidak dimaknai sebagai pendidikan yang diskriminatif. Mengapa? Menurut pandangan pribadi saya karena sistem pendidikan di kedua negara tersebut tidak diskriminatif dengan membedakan anak orang kaya ataupun tidak, anak pejabat ataupun orang biasa, tetapi yang terpenting adalah penekanan pada tingkat kecerdasan seseorang. Siapapun orangnya, anak siapapun, kaya maupun miskin, sepanjang dia memiliki kecerdasan yang memadai pasti bisa sampai pada jenjang pendidikan tertinggi. Kondisi ini ditambah dengan komitmen Pemerintah menjamin sepenuhnya pembiayaan pendidikan hampir semuanya dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Dan bagi yang merasa kurang mampu secara akademik juga disediakan pilihan dengan tetap mengacu kepada tingkat kehidupan yang sejahtera selepas dari sekolah maupun perguruan tinggi.
Kita tentu tidak iri manakala ada rekan satu kelas kita pada saat di SMA yang memang tergolong siswa pandai, bisa diterima di sekolah-sekolah kedinasan seperti STAN, STIS, Akabri, ataupun di perguruan tinggi favorit seperti ITB, UI, UGM, ITS, USU, UNHAS dan sekelasnya. Kita tidak bisa mengatasnamakan pelanggaran HAM manakala kita tidak bisa masuk perguruan tinggi tersebut karena keterbatasan kemampuan akademik kita. Namun, kita akan berteriak kencang manakala mendapati siswa yang dari segi akademik biasa-biasa saja, namun karena faktor lainnya, bisa masuk ke dalam jajaran perguruan tinggi ternama. Inilah yang menjadi akar permasalahan kita di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu pendidikan yang sering dianggap diskriminatif, khususnya pendidikan tinggi dengan semakin mahalnya biaya ditingkat universitas
Menilik kebijakan Swiss dan Jerman dalam penerapan sistem pendidikan, serta melihat pengalaman di Indonesia bahwa kita semua akan menerima dengan lapang dada dan merasa adil pada saat rekan kita yang memang pandai mampu menembus perguruan tinggi favorit, maka perlu dipikirkan kembali implementasi kebijakan pendidikan seperti yang ada di Swiss dan Jerman, di Indonesia. Walaupun kemungkinan dengan penerapan kebijakan pendidikan tersebut secara kuantitas siswa yang masuk ke jenjang pendidikan tinggi akan berkurang, namun secara kualitas mahasiswa yang berada pada jalur Universitas adalah para mahasiswa yang dipersiapkan untuk menjadi peneliti dan pengembang ilmu sampai pada tingkatan Doctor of Philosophy (Ph.D). Bagi siswa yang memiliki tingkat kecerdasan dibawahnya, dapat diberikan pilihan untuk memasuki jenjang University of Applied Science (atau yang di Indonesia lebih diterjemahkan dalam istilah Institut, Sekolah Tinggi dan sejenisnya) ataupun College (yang di Indonesia lebih diterjemahkan dalam istilah Akademi, Politeknik, atau yang setara dengan itu). Hal terpenting dari kebijakan ini adalah tidak adanya perasaan diskriminatif oleh siapapun dalam hal pemerataan pendidikan. Karena dalam pemahaman saya sebagai individu yang kurang mengerti makna HAM secara keseluruhan, makna keadilan dalam pendidikan adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada anak bangsa, siapapun orang tuanya, dari mana asalnya, dari golongan ekonomi manapun (kaya ataupun miskin), sepanjang dia memiliki tingkat kecerdasan yang memadai untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya maka dia berhak mendapatkan pendidikan sampai jenjang tertinggi sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Sebagai penutup, sekiranya saya akan memberikan cuplikan prinsip pelaksanaan pendidikan nasional sebagai yang diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yang tertulis ” Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Mudah-mudahan dengan implementasi kebijakan pendidikan seperti yang diterapkan di Jerman dan Swiss adalah wujud nyata pelaksanaan konstitusi pendidikan yang tidak diskriminatif, sebagaimana yang diamantkan konstitusi.


| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar