Selasa, 31 Januari 2012

Perkembangan Sistem Kepartaian dan Pemilu Indonesia

P E N G A N T A R

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat izin-Nyalah makalah sederhana, dengan judul “Perkembangan Sistem Kepartaian dan Pemilu Indonesia” ini dapat Penulis selesaikan.
Selanjutnya Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini. Karena dalam penulisannya, Penulis banyak menemukan kesulitan, namun berkat bimbingan dari Guru dan teman – teman, akhirnya makalah sederhana ini dapat diselesaikan
Penulis menyadari betul tentang kekurangan makalah ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak tentang penulisan di dalam makalah ini, demi kebaikan Penulis sendiri dan kesempurnaan makalah sedehana ini.
Semoga makalah sederhana yang telah Penulis selesaikan ini, dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.



CIREBON, 31 JANUARI 2012
Penulis
RIZAL FAHMI SAEFUDDIN

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Perjalanan sejarah partai-partai di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama jika dibandingkan sejarah bangsa Indonesia. Partai-partai di Indonesia mulai berdiri hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu mulai muncul sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang mengimbau agar bangsa Indonesia mendirikan partai-partai dalam rangka menyongsong pemilihan umum (baik untuk parlemen/KNIP maupun Badan Konstituante) yang direncanakan akan segera dilaksanakan.
Sejarah mencatat bahwa rencana tersebut baru dapat terlaksana tujuh tahun kemudian, tahun 1955, ketika bangsa Indonesia pertama kali melaksanakan pemilihan umum anggota DPR yang menghasilkan adanya 27 partai yang memperoleh kursi di parlemen dari 36 partai yang mengikuti pemilihann umum. Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%) (Kevin Raymond Evans, 2003: 14).
Sejarah partai politik Indonesia mencatat bahwa inilah satu-satunya pemilu (yang dapat dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun masa Orde Lama) yang dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan partai-partai politik masa Orde Lama. Sampai dengan berakhirnya Orde Lama pada pertengahan dekade 1960-an, tidak ada lagi pemilihan umum yang dapat dipergunakan untuk mengukur distribusi kekuatan antarpartai secara nasional. Hal ini perlu ditekankan karena di luar pemilu secara nasional tersebut, terdapat beberapa kali pemilu daerah dan lokal yang pernah dilaksanakan di Indonesia pada masa Orde Lama, yaitu pemilu 1957 (untuk wilayah Jawa dan Sumatera Bagian Selatan), pemilu 1958 (untuk wilayah Kalimantan), 1948 (pemilu lokal Yogyakarta), 1951 (pemilu lokal Minahasa dan Sangihe Talaud), 1952 (pemilu lokal Makassar), 1961 (pemilu lokal Papua yang waktu itu masih di bawah kekuasaan Belanda). Bagaimana perkembangan sistem kepartaian di Indonesia, apakah menunjukkan kecenderungan semakin matang atau sebaliknya, justru semakin mundur?
Tulisan berikut akan memberikan analisis perkembangan sistem kepartaian di Indonesia dengan mengkaji tiga variabel, yaitu jumlah partai politik, distribusi kekuatan antarpartai politik (dengan membandingkan kursi yang dimenangkan dalam pemilu) dan integrasi sistim kepartaian (dengan menganalisis jarak ideologi antarpartai politik). Dan lebih lanjut juga akan memberikan gambaran bagaimana pelaksanaan pemilu selama 64 tahun kemerdekaan Indonesia.

2. Tujuan

a. Mendeskripsikan perkembangan sistem kepartaian Indonesia
b. Mendeskripsikan pelaksanaan dan perkembangan pemilu di Indonesia

3. Rumusan Masalah

Bagaimana Sistem Kepartaian dan Pemilu ?
Bagaimana Perkembangan Sistem Kepartaian Indonesia ?
c. Bagaimana Sejarah Pelaksanaan Pemilu di Indonesia?

4. Kerangka Teoritis dan Konseptual

a. Teori Sistem Politik dan Negara

Sistem Politik adalah sebagai serangkaian proses yang terdiri dari banyak bagian-bagian, saling berkaitan yang menjalankan alokasi nilai-nilai (berupa kebijakan-kebijakan atau keputusan) yang alokasinya bersifat otoritatif (dikuatkan oleh kekuasaan yang sah sah) dan mengikat masyarakat.
Teori ini mulai mencuat pada awal 1950-an. Tiga penulis terkenal dalam mengembangkan teori ini adalah : David Easton, dalam bukunya yang berjudul “The Politic System”, konsep yang ditawarkan seperti : konsep input / output, tuntutan (demands) dan dukungan (support), serta umpan balik (feedback).
Tokoh yang kedua adalah Gabriel Almond. Awalnya Almod menawarkan suatu klasifikasi sederhana tentang sistem – sistem politik (“Journal of Politics”), yang mencakup sistem politik di luar dunia Barat, negara – negara yang baru merdeka. Tokoh yang ketiga : Karl Deutsch, dengan karyanya “Nerves of Government“

b. Teori Partai Politik

Sebagai bagian dari sebuah kelembagaan dalam konteks negara demokratis, partai politik memiliki posisi (Status) dan peranan (Role) yang begitu sentral dalam menghubungkan pandangan-pandangan umum yang timbul dalam masyarakat dengan pemerintah. Seorang tokoh yaitu Schattscheider berpendapat mengenai peranan partai politik yang memiliki peran dalam pembentukan corak demokrasi dalam suatu negara, ia menyatakan “Political parties created democracy”.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 pengertian partai politik seperti yang telah disebutkan di atas adalah sebuah lembaga nasional yang diidentifikasikan sebagai lembaga yang mengedepankan kepentingan politik anggota-anggotanya.
Fungsi partai politik dibedakan kepada tiga keadaan yang berbeda, yaitu di negara demokratis (dalam hal ini lebih cenderung kepada negara maju), negara otoriter, dan negara berkembang. Adapun fungsi partai politik dalam negara demokratis sangat kentara dan bekerja sebagai layaknya sebuah partai politik, pada negara berkembang tujuan dan fungsi partai politik hampir serupa dengan negara demokratis, namun ada beberapa permasalahan sosial kemasyarakatan yang menghambat efektifitas kinerjanya, adapun pada negara otoriter partai politiktergantung apakah partai politik tersebut berkuasa atau tidak, apabila partai politik tersebut berkuasa maka secara otomatis dia akan mudah menrealisasikan tujuannya namun berbeda apabila partai tersebut tidak berkuasa maka fungsinya tidak bisa berjalan untuk kepentingan umum, partai komunis yang berkuasa bertujuan untuk mencapai kekuasaan yang dijadikan batu loncatan untuk menguasai semua partai politik yang ada dan menghancurkan sistem politik yang demokratis.
Selanjutnya Kay Lawson mengemukakan bahwa partai politik memiliki klasifikasi yang antara lain sistem partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem multi partai. Sistem multipartai adalah format sistem yang umum di beberapa negara di dunia yang berdasarkan sistem perwakilan proporsional, dalam tipe ini proporsi jumlah kursi di dewan perwakilan tergantung jumlah proporsi suara yang diterima pada pemilihan, dan apabila dalam pemilihan tidak ada satu partai pun yang memenangkan suara mayoritas, maka konsekwensinya adalah pembentukan pemerintahan koalisi. Sedangkan dalam sistem dua-partai tunggal kontrol pemerintahan hanya berkutata dengan dua partai tersebut saja. Adapun yang terakhir adalah sistem partai tunggal yang pada umumnya terdapat dalam sistem negara komunis, dalam sistem ini tidak ada kompetisi dan perbedaan pandangan dengan partai politik yang lain.

c. Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (berkaitan dengan istilah “demokrasi”)

d. Demokrasi

Secara etimologi demokrasi adalah gabungan dua kata yaitu Demos (Masyarakat) dan Kratos (Memerintah). Sedangkan secara terminologi Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan rakyat, namunpengertian yang sederhana tersebut pada kelanjutannya akan berkembang sesuai dengan konfigurasi politik yang terus berkembang seperti halnya pada abad ke 19 yang melahirkan paham demokrasi konstitusional yang kemudian berkembang menjadi negara hukum dan kesejahteraan welfare state. Pada tatran negara demokratis modern, Henry B. Mayo mendefinisikan bahwa:
“sistem pemerintahan yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.”

5. Metode Pengumpulan Data

Studi literatur / pustaka :
a. Buku – buku yang terkait
b. Berbagai sumber dari situs internet

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

1. Sistem Kepartaian dan Sistem Pemilu

Dari beberapa hasil studi menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini memiliki partai. Tak terkecuali negara-negara yang tergolong, sebagai negara berkembang. Partai telah diyakini sebagai komponen penting dalam sistem pemerintahan buat membangun sistem politik yang demokratis. Dengan adanya politik partai diharapkan semua aspirasi rakyat yang heterogen dapat terakomodasi secara proporsional lewat pemilu. Melalui hasil pemilu roda pemerintahan dijalankan untuk mencapai negara sejahtera (welfare state) seperti yang dicita-citakan. Tetapi dalam banyak kasus terutama di negara berkembang keberadaan partai justru telah menimbulkan pemerintahan yang tidak efektif, inefisien, bahkan tidak jarang menimbulkan chaos. Lain halnya di negara maju (developed countries) sistem kepartaian di negara ini sudah mapan, terdiri dari dua partai, seperti USA dan Kanada atau beberapa partai seperti, Italia dan Perancis. Di Indonesia sistem kepartaian mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada era pasca revolusi sistem kepartaian mengalami masa boom partai. Tetapi banyaknya partai justru menjadikan instabilitas di semua sektor. Reformasi partai politik dimulai pada masa Orde Baru dengan melakukan fusi dari multi partai menjadi beberapa partai dan mengurangi kekuatan partai dengan floating mass dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975. Sedangkan pada tahun 1999 terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum.

Pemilu dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Pemilu membutuhkan partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai politik membutuhkan pemilu sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet. Meskipun partai politik sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tetapi pemilu di Indonesia baru dilaksanakan pada tahun 1955. Pada masa itu digunakan sistem multi partai dan sistem perwakilan berimbang atau proporsional. Dalam prakteknya sistem ini justru menimbulkan distorsi dan friksi. Terbukti dari tidak bertahan lamanya kabinet yang dibentuk dan sering terjadi konflik. Kondisi ini menjadikan pemerintah pada waktu itu tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Setelah dilakukan reformasi dan dilaksanakannya Pemilu 1971 fungsi pemerintah berjalan normal. Barometer kesuksesan pelaksanaan Pemilu 1971 dipakai acuan untuk Pemilu selanjutnya.

Fungsi Partai Politk
Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari sistem politik yang sudah modern atau yang dalam proses modernisasi diri. Sebagai sistem politik, partai politik mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam mewujudkan dasar ideologi bahwa rakyat berhak turut menentukan calom pemimpin yang nantinya menentukan kebijakan umum (publik policy). Dalam berbagai literatur partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana komunikasi politik (instrumentof political comunication), sosialisasi politik (instrument of political socialization) rekrutmen politik (selection of leadership), dan pengatur konflik (conflict management). Namun fungsi ini akan bergeser makna tergantung pada sistem ideologi politik yang melatarbelakangi rejim yang berkuasa, seperti fungsi partai politik di negara tirani akan berbeda makna dengan fungsi partai politik di negara sosial atau kapitalis.

Arti dan Fungsi Partai Politik di Indonesia
Secara teoritis pengertian partai politik di mana pun sama. Namun dalam prakteknya sering terjadi distorsi karena pengaruh berbagai hal. Di Indonesia misalnya, arti dan fungsi partai politik sedikit bergeser makna. Partai politik bukannya berfungsi sebagai sarana penghubung rakyat dengan pemerintah tetapi sebagai sarana berkonflik dengan pemerintah. Di Indonesia setiap terjadi perubahan pemerintah terjadi perbedaan interpretasi terhadap partai politik.
Hal ini lantaran setiap pemerintahan membawa visi, misi dan tujuan yang tidak selalu sama. Karena perbedaan itu sejarah perkembangan partai politik di negara kita dapat dikategorikan menjadi periode masa revolusi atau pada masa pemerintahan kolonial, periode Demokrasi Liberal, periode Demokrasi Terpimpin dan periode Demokrasi Pancasila
Pengertian Pemilu
Pemilihan umum merupakan manifestasi kongkret dari kedaulatan rakyat. Dalam pemilihan umum rakyat memilih wakil-wakil dalam parlemen untuk kemudian diharapkan dapat memperjuangkan aspirasinya. Pada pemerintahan kota Yunani Kuno pernah dilakukan demokrasi langsung. Artinya hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat terselenggara barangkali karena sederhana. Pasca perang dunia II atau dalam negara modern sekarang ini akan sulit jika dilakukan pemilihan secara langsung karena masalah ruang, waktu dan biaya. Maka banyak negara yang menganut paham demokrasi dalam pelaksanaan pemilu memilih menggunakan sistem perwakilan (representative democracy). Setiap sistem pemilihan masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Tetapi keduanya akan berjalan lebih efektif dan demokratis jika diselenggarakan secara Luber dan Jurdil.
Pelaksanaan pemilu sebagai wujud dari kedaulatan rakyat merupakan salah satu pesta demokrasi yang melelahkan. Betapa tidak, pelaksanaan pemilu melibatkan kurang dari 12 kegiatan. Maka tak pelak jika penyelenggaraan pemilu pada umumnya dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Seperti di Indonesia misalnya, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas LUBER dan JURDIL yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan Adil.
Macam-macam Sistem Pemilu
Pemilihan umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Dalam ilmu politik ada dua prinsip utama pelaksanaan sistem pemilihan umum, yakni pemilihan umum menggunakan sistem distrik dan proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Pada sistem distrik jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan berdasarkan jumlah distrik. Setiap distrik mempunyai satu wakil dari masing-masing parpol kontestan pemilu. Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang suatu negara dipecah-pecah ke dalam suatu daerah pemilihan. Setiap daerah memilih sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk yang ada dalam daerah pemilihan tersebut. Jumlah wakil yang akan duduk di DPR tergantung dari perolehan suara hasil pemilu. Baik sistem distrik maupun proporsional keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.


2. Perkembangan Sistem Kepartaian Indonesia

Dalam perkembangan dan sejarahnya, pada pelaksanaan pemilu di Indonesia tahun 1955 (pemilu untuk memilih anggota parlemen/KNIP dan Badan Konstituante) diikuti oleh 36 partai politik. Dari 36 partai yang bersaing, terdapat sepuluh partai yang memperoleh suara lebih dari 1 (satu) persen, yaitu (berturut-turut nama partai, perolehan kursi dan persen suara): Partai Nasional Indonesia (57/22,3%), Majlis Syuro Muslimin Indonesia/Masyumi (57/20,3%), Nahdlatul Ulama/U (45/18,4%), Partai Komunis Indonesia/PKI (39/15,4%), Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII (8/2,9%), Partai Kristen Indonesia/Parkindo (8/2,6%), Partai katholik/Parkat (6/2,0%), Partai Sosialis Indonesia/PSI (5/2,0%), Ikatan Perintis Kemerdekaan Indonesia/IPKI (4/1,4%), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti (4/1,3%).
Meski sistem kepartaiannya sangat plural, distribusi kekuatan antarpartai menunjukkan bahwa empat partai terbesar merupakan mayoritas dengan mengumpulkan total suara 77%. Pemilihan Umum tahun 1971 yang diikuti sepuluh partai menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai sebagai berikut: kelompok-kelompok partai nasionalis memperoleh suara sekitar 10%, kelompok partai-partai agama (NU, PPP, dan Parmusi) sekitar 25% dan Golongan Karya sekitar 65%. Dominasi Golongan Karya terjadi pada keseluruhan pemilu masa Orde Baru (yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997). Angka-angka perbandingan ini hampir tidak mengalami perubahan berarti selama masa Orde Baru. Meski demikian perlu digarisbawahi bahwa dominasi Golongan Karya yang luar biasa terjadi pada Pemilu 1987 dan 1997 ketika Golongan Karya memperoleh suara sekitar 75%. Pada Pemilu 1987, PPP mengalami penurunan suara yang drastis, sementara pada Pemilu 1997 gantian PDI yang mengalami penurunan suara sangat signifikan sebagai buntut perpecahan internal yang menyebabkan terjadinya penyerangan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Pada masa reformasi, distribusi kekuatan antarpartai mengalami fluktuasi. Pemilu 1999 menghasilkan 6 partai yang memperoleh kursi DPR (dari 48 partai yang bertarung dalam pemilu) dengan komposisi kursi sebagai berikut: PDI-P (153), Partai Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (41), dan PBB (13). Pemilu 2004 yang diikuti partai yang lebih sedikit dibanding pemilu 1999 (hanya 24 partai) justru menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai yang jauh lebih bervariasi. Berturut-turut jumlah kursi yang dimenangkan adalah Partai Golkar (133), PDI-P (108), PPP (57), Partai Demokrat (57), PKB (53), PAN (49), PKS (45), PBR (13), PBB (11), PDS (10), PKPI (3), Partai Merdeka (2), PKPB (2), PPDK (2), PPIB (1), PPDI (1). Dengan demikian, dari 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004, terdapat 16 partai yang memperoleh kursi DPR; tetapi dari 16 partai yang memperoleh kursi DPR tersebut hanya sepuluh partai yang memperoleh sepuluh kursi atau lebih, dan hanya tujuh partai yang memperoleh kursi lebih dari lima persen.
Meski perhitungan perolehan kursi DPR belum selesai dilakukan oleh KPU, tapi dari hasil perhitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei menunjukkan hasil sementara (yang biasanya tidak akan jauh beda dengan hasil sesungguhnya) sepuluh besar partai di Indonesia kurang lebih sebagai berikut: Partai Demokrat (20,1%), Partai Golkar (14,2%), PDI-P (14%), PKS (8,2%), PAN (6,3%), PPP (5%), PKB (5%), Partai Hanura (4%), Gerindra (3%), PBR (1,3%). Hasil Pemilu 2004 dan 2009 menunjukkan meski perolehan suara sepuluh besar partai di Indonesia berubah-ubah (kecuali PKS dan PAN yang relatif stabil), tetapi dari puluhan partai yang ikut pemilu memang hanya sepuluh partai yang bisa memperoleh kursi atau suara lebih dari 1%.
Hasil-hasil ini kurang lebih mengulang hasil Pemilu 1955. Perbandingan hasil berbagai pemilu di Indonesia dari masa Orde lama, Orde Baru dan Reformasi menunjukkan bahwa sebenarnya memang maksimal hanya sepuluh partai saja yang secara konsisten dapat memperoleh dukungan masyarakat. Distribusi perolehan suara antarpemilu juga menunjukkan bahwa distribusi kekuatan suara antarpartai semakin merata. Jika Pemilu 1955 menghasilkan perolehan suara empat partai terbesar adalah 77%, tahun 2004 empat partai terbesar hanya memperoleh sekitar 60%, dan tahun 2009 hanya sekitar 57%.
Jelas bahwa meski jumlah partai yang mampu memperoleh suara signifikan konsisten pada angka sekitar 10 partai, tetapi distribusi kekuatan antarpartai semakin merata. Hal ini tentu terkait dengan potensi integrasi sistem kepartaiannya.Integrasi: Semakin Dekat atau Semakin Jauh?
Ukuran integrasi sistem kepartaian adalah jarak ideologis partai-partai yang membentuk sistem kepartaian. Berbeda dengan Pemilu 1955 yang menunjukkan adanya jarak ideolois yang esktrem (antara PKI yang di ujung kiri spektrum ideologi dan Masyumi yang di ujung kanan), maka pemilu masa reformasi menunjukkan jarak ideologi antarpartai yang semakin dekat.
Meski terdapat partai-partai yang dapat dikategorikan sebagai “partai kiri”, yaitu Partai Buruh dan Partai Rakyat Demokratik, tetapi kedua partai ini tidak mendapat dukungan masyarakat. Sementara itu partai-partai agama (terutama partai-partai Islam) mengalami degradasi suara sangat drastis, dari lebih dari 40% pada Pemilu 1955 menjadi hanya sekitar sekitar 20% pada masa reformasi. Data tentang perolehan suara ini juga konsisten dengan dua kenyataan: tidak ada lagi partai yang mempersoalkan Piagam Jakarta dan hampir tidak ada lagi yang menjadikan isu agama sebagai isu utama kampanye pemilu. Isu yang pada umumnya diusung adalah masalah moral.
Jelas bahwa partai-partai di Indonesia semakin bergerak ke tengah dalam spektrum ideologi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa preferensi pemilih juga semakin bergerak ke tengah. Dari sisi ideologi dan potensinya untuk memunculkan konflik berbasis ideologi, pergerakan ideologi partai dan preterensi pemilih yang semakin ke tengah ini semakin memperkecil potensi konflik. Meski demikian, hal ini sangat ironis dengan perkembangan jumlah partai yang semakin banyak. Semestinya semakin sederhana spektrum ideologi partai maka tentunya jumlah partai yang bersaing juga semakin sedikit karena tidak ada beda antara partai satu dengan partai lainnya. Jelas bahwa semakin banyaknya jumlah partai di Indonesia tidak memiliki landasan teoritik ideologis yang jelas. Tidak jelas apa yang sedang diperjuangkan oleh partai-partai yang memiliki ideologi yang sama.
Indonesia beruntung tidak memiliki partai-partai nasional yang berbasis ideologi kesukuan dan kedaerahan (kecuali partai lokal di Aceh) sehingga tidak memiliki ancaman konflik atas dasar perbedaan ideologi kesukuan dan kedaerahan.India yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia dan Malaysia memiliki ancaman ini karena memiliki partai-partai yang jelas dipengaruhi ideologi kesukuan dan kedaerahan ini. Semestinya kelebihan ini ditambah dengan semakin dekatnya jarak ideologi partai-partai dapat mendorong munculnya sistim kepartaian yang semakin sederhana dan ramping. Hal ini bukan hanya akan membuat partai-partai yang seideologi semakin kuat (karena menghimpun kekuatan), tetapi juga tidak membingungkan pemilih dalam pemilu dan akan membuat pemilu semakin murah (bayangkan jumlah biaya yang dapat dihemat untuk verifikasi partai saja dan jumlah kertas yang dapat dihemat untuk mencetak kartu suara). Ironisnya, ketika masyarakat Indonesia semkain terdidik (dengan semakin besarnya persentase warga masyarakat yang dapat lulus pendidikan yang lebih tinggi), para politisi justru terlihat “semakin bodoh” dengan membabi buta mendirikan partai meski tidak laku di masyarakat. Apakah kita harus terus menerus menanggung harga dari perbuatan para petualang politik ini? Marilah secara konsisten kita memberi pelajaran kepada para politisi dengan secara terus-menerus hanya memilih partai yang jelas dasar keberadaannya, yang bukan sekedar “bertualang”. Membangun demokrasi memang perlu waktu lama, jangan sampai kita patah arang di tengah jalan.


Zaman Penjajahan Belanda
Pada zaman penjajahan Belanda, partai – partai politik tidak dapat hidup tenteram. Tiap partai yang bersuara menentang atau bergerak tegas, akan segera dilarang, pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai politik yang pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung dan dipimpin oleh Tiga Serangkai, yaitu Dr. Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara. Tujuan partai itu adalah Indonesia lepas dari Belanda. Partai itu hanya berusia 8 bulan karena ketiga pemimpin masing – masing dibuang ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda.

Zaman Penjajahan Jepang
Pemerintahan militer Jepang mula – mula melarang dan membubarkan partai – partai politik yang telah ada. Namun kemudian disetujui berdirinya partai politik yang bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di bawah pimpinan “ Empat Serangkai “, yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, K.H Mansyur. Atas perintah pemerintah Jepang partai ini kemudian dibubarkan pada bulan Maret 1944

Zaman Kemerdekaan Indonesia (Orde Lama)
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dipertimbangkan semula untuk memusatkan tenaga perjuangan rakyat hany dalam satu partai saja. Pertimbangan itu kemudian dilepaskan pada tanggal 3 November 1945. Pemerintah RI mengeluarkan suatu maklumat yang antara lain menyatakan bahwa pemerintah menginginkan timbulnya partai politik, karena dengan adanya partai – partai itulah rakyat dapat dipimpin secara teratur.
Menurut maklumat itu tugas partai – partai terutama ialah untuk menyalurkan aliran yang tumbuh dan hidup didalam masyarakat, sehingga dapat mempermudah pelaksanaan pemilu. Bedasarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 timbulah partai – partai politik di Indonesia laksana jamur di waktu hujan. Pemilihan umum yang diadakan tahun 1955 diikuti oleh 28 partai politik dan organisasi politik.Banyaknya partai politik dalam sistem pemerintahan parlementer telah mengakibatkan tidak stabilnya pemerintah, kabinet silih berganti dalam waktu yang relatif singkat. Banyak di antara partai – partai tersebut kemudian dilarang atau ditolak pengakuannya oleh pemerintah. Adapun partai – partia yang diakui oleh pemerintah Indonesia dan yang ada pada saat pemilihan umum tahun 1971 adalah sebagai berikut :
a) Partai Nasional Indonesia (PNI)b) Nahdatul Ulama (NU)c) Partai Katolikd) Partai Indonesia (PARTINDO)e) Partai Murbaf) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)g) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)h) Partai Kristen Indonesia (PARKINDO)i) Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiah Islamiyah)j) Partai Muslim Indonesia (PARMUSI)

Zaman Orde Baru
Pada tanggal 5 Januari 1973 NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI telah memfungsikan politiknya dalam satu partai politik yang bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik pada tanggal 10 Januari 1973 telah berfusi dalam satu wadah yang bernama Partai Demokrasi (PDI)Maka sesuai dengan Tap MPR No VIII / 1973 , pemilihan umum yang diselenggarakan selambat – lambatnya akhir tahun 1977 akan dikuti oleh 2 golongan politik PPP dan PDI dan ditambah 1 Golongan Karya (GOLKAR) yang dibentuk sejak tahun 1971.
Dua partai politik dan golongan karya sebagai kesatuan politik pada masa Orde Baru yang mengikuti pemilu pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang didasarkan pada UU No. 3 Tahun 1975 yang diganti dengan UU Tahun 1985. Dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang ditanda tangani dengan pengunduran diri Presiden Soeharto 21 Mei 1998 yang karena diduga melakukan banyaknya Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN).

Zaman Reformasi
Perubahan yang menonjol adalah besarnya peran partai politik dalam pemerintah, keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik, dan kian mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik.
Hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan – kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai – partai politik sebagai pilar demokrasi. Oleh karena itu tidak heran dengan adanya UU No. 2 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai – partai baru dalam percaturan kepartaian di Indonesia. Namun dari sekian banyak partai hanya ada 5 partai yang memperoleh suara yang signifikan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Harapannya adalah dengan kehadiran banyak partai itu jangan sampai justru menambah ruwetnya sistem pemerintahan NKRI. Ruwetnya pemerintahan ini mengakibatkan bangsa Indonesia akan banyak mengalami kendala untuk segera keluar dari krisis multidevresional yang sudah berjalan.
Pada pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar. Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetepi dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 23. Untuk menindak lanjuti pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 tersebut dibuatlah UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung. Yang dalam penjelasan antara lain diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya dilaksanakan menurut Undang – Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik gabungan – gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksaaan pemilihan umum “.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL ( Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil ) yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.



Sejarah Sistem Kepartaian di Indonesia (ORLA – ORBA – REFORMASI)

Periode
Sistem Pemerintahan
Sistem Partai
1903 – 1942
Zaman Kolonial
Sistem multi - partai
1942 – 1945
Zaman Pendudukan Jepang
Partai politik dilarang
17 Agust 1945- 1959
(ORLA)
Zaman Demokrasi Parlementer
A. Masa Perjuangan

17Agust – 14Nov 1945
1. Sist. Presidensial, UUD 1945
Satu Partai PNI
14 Nov - 17Agust ‘45
2. Sist. Parlementer, UUD 1945
Sistem Multi Partai
1949 – 1950
3. Sist. Parlementer, UUD RIS
Sistem Multi Partai
1950 – 1955
B. Masa Pembangunan (Building Nation)
4. Sist. Parlementer, UUD 1950
Sistem Multi Partai.
Pemilu 1955 menghasilkan 27 partai dan 1 perorangan yang memperoleh kursi di DPR
1955 – 1959
5. Sist. Parlementer, UUD 1950
Sistem Multi Partai
1959 - 1965
Demokrasi Terpimpin, UUD 1945
1. 1959
Maklumat Pemerintah 3 November 1945 dicabut. Diadakan penyederhanaan partai sehingga hanya ada 10 Partai yang diakui (PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Parta Murba, PSII Arujdi, IPKI dan Partai Islam Perti. Masyumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960)

2. 1960
Dibentuk Front Nasional yang mewakili semua kekuatan politik. PKI masuk berdasarkan prinsip Nasakom. ABRI masuk lewat IPKI.
1965 – 1998 (ORBA)
Demokrasi Pancasila, UUD 1945


1. 1966
PKI dan Partindo dibubarkan

2. 27 Juli 1967
Konsensus Nasional a.l. 100 anggota DPR dianggat.

3. 1967 - 1969
Eksperimen dwi – partai dan dwi – group dilakukan di beberapa kabupaten di Jabar, namun dihentikan pada awal 1969.

4. 1971
Pemilu dengan 10 Partai.

5. 1973
Penggabungan partai menjadi 3 Partai (Golkar, PDI, PPP)

6. 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Pemilu hanya diikuti oleh 3 orsospol (sist. Multi Pastai terbatas) PPP, Golkar, PDI.

7. 1982
8. 1984
Pancasila satu – satunya asas.
NU Khittah

9. 1966
PDI pecah
1998 (21 Mei) - …..
(REFORMASI)
Reformasi, UUD 1945 yang diamandemen
1. 1999 (Juni)
2. 2004 (April)
Kembali ke system multi – partai.
Pemili dengan 46 Partai.



3. Perkembangan Pelaksanaan Pemilu di Indonesia

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.

Asas
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.

Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1. Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu,
2. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 10 partai politik.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

Pemilu 1977-1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.

Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.

Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

Berikut adalah bagan “Sejarah Pemilu di Indonesia” (1955-2004)

Tahun Pemilu
Sistem Pemilu
1955
Menggunakan Sistem Proposional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakili 1 anggota DPR. Menggunakan Stelsel Daftar Mengikat dan Stelsel Daftar bebas. Pemilih dapat memberikan suaranya kepada calon yang ada di dalam daftar (ini merupakan ciri sistem distrik) dan bisa juga diberikan kepada partai. Suara yang diberikan kepada calon akan diperhitungkan sebagai perolehan suara calon yang bersangkutan, sedangkan yang diberikan kepada partai, oleh partai akan diberikan kepada calon sesuai nomor urut. Seseorang secara perorangan, tanpa melalui partai, juga dapat menjadi peserta pemilu.
Calon yang terpilih adalah yang memperoleh suara sesuai BPPD (Bilangan Pembagi Pemilih Daftar). Apabila tidak ada calon yang memperoleh suara sesuai BPPD, suara yang diberikan kepada partai akan menentukan. Calon dengan nomor urut atas akan diberi oleh suara partai, namun prioritas diberikan kepada calon yang memperoleh suara melampaui setengah BPPD.
Kursi yang tidak habis dalam pembagian di daerah pemilihan akan dibagikan di tingkat pusat dengan menjumlahkan sisa – sisa suara dari daerah – daerah pemilihan yang tidak terkonversi menjadi kursi.
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
Menggunakan Sistem Proporsional dengan Stelsel Daftar Tertutup. Pemilih memberikan suaranya hanya kepada partai, dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah mendapat bagian suara cukup untuk kuota 1 kursi.
Untuk pemilu anggota DPRD, pemilihannya adalah wilayah provinsi, sedangkan DPRD I, daerah pemilihannya adalah satu provinsi yang bersangkutan , dan untuk DPRD II, daerah pemilihannya pada Dati Iiyang bersangkutan. Namun ada sedikit warna Sistem Distrik di dalamnya, karena setiap kabupaten diberi jatah 1 kursi anggota DPR untuk mewakili daerah tersebut.
Pada pemilu tahun – tahun ini, setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk.
2004
Ada satu lembaga baru di dalam lembaga legislatifyaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk pemilu anggota DPD digunakan sistem distrik tetapi dengan 4 Kursi untuk setiap provinsi. Daerah pemilihannya adalah wilayah provinsi. Pesertanya adalah individu. Karena setiap provinsi / daerah pemilihan mempunyai jatah 4 kursi, dan suara dari kontestan yang kalah tidak dapat dialihkan maka sistem yang digunakandisini dapat disebut dengan Sistem Distrik dengan Wakil Banyak (Block Vote).
Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan Sistem Proposional, dengan Stelsel Daftar Terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dalam hal ini, pemilih memberikan suaranya kepada partai, calon yang berada pada urutan teratas mempunyai peluang besar untuk terpilih karena suara pemilih yang diberikan kepada partai menjadi hak calon yang berada di urutan teratas. Jadi, terdapat kemiripan sistem yang digunakan dalam Pemilu anggota DPR dan DPD tahun 2004 dan 1955. bedanya, pada pemilu 1955 terdapat prioritas untuk memberikan suara lebih dan setengah BPPD.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Pemilu dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Pemilu membutuhkan partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai politik membutuhkan pemilu sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet.
Dari beberapa hasil studi menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini memiliki partai. Tak terkecuali negara-negara yang tergolong sebagai negara berkembang, Indonesia. Partai telah diyakini sebagai komponen penting dalam sistem pemerintahan buat membangun sistem politik yang demokratis. Dengan adanya politik partai diharapkan semua aspirasi rakyat yang heterogen dapat terakomodasi secara proporsional lewat pemilu. Melalui hasil pemilu roda pemerintahan dijalankan untuk mencapai negara sejahtera (welfare state) seperti yang dicita-citakan. Di Indonesia sistem kepartaian mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada era pasca revolusi sistem kepartaian mengalami masa boom partai. Tetapi banyaknya partai justru menjadikan instabilitas di semua sektor. Reformasi partai politik dimulai pada masa Orde Baru dengan melakukan fusi dari multi partai menjadi beberapa partai dan mengurangi kekuatan partai dengan floating mass dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975. Sedangkan pada tahun 1999 terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum.
Di Indonesia, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas LUBER dan JURDIL yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan Adil.
Pemilihan umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Dalam ilmu politik ada dua prinsip utama pelaksanaan sistem pemilihan umum, yakni pemilihan umum menggunakan sistem distrik dan proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Pada sistem distrik jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan berdasarkan jumlah distrik. Setiap distrik mempunyai satu wakil dari masing-masing parpol kontestan pemilu. Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang suatu negara dipecah-pecah ke dalam suatu daerah pemilihan. Setiap daerah memilih sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk yang ada dalam daerah pemilihan tersebut. Jumlah wakil yang akan duduk di DPR tergantung dari perolehan suara hasil pemilu. Baik sistem distrik maupun proporsional keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Read more »»  
Read more »»  
Read more »»  
Read more »»  
[ Read More.. ]

PENDIDIKAN YANG DISKRIMINATIF?


Membaca petikan pernyataan Dubes RI untuk Swiss yang mengatakan bahwa sistem pendidikan di negeri asal petenis terkemuka FedEx tersebut telah mempersiapkan generasi mudanya sejak kelas 3 SMP, cukup membuat saya menjadi tertegun. Tertegun dengan sistem pendidikan yang memilih hanya siswa-siswa yang pandai dan berbakat saja yang diijinkan untuk ke jenjang Universitas, yang sebelum masuk Universitas mereka dibina dilembaga Gymnasium (sekolah setara dengan SMA di Indonesia). Bagi siswa yang memiliki tingkat kecerdasan dibawahnya akan diarahkan untuk mengambil sekolah umum atau sekolah kejuruan, yang selanjutnya bisa masuk jenjang pendidikan tinggi baik Politeknik, Akademi atau yang setingkat dengan itu. Sistem ini juga diterapkan di negara Republik Federal Jerman. Yang menjadi pertanyaan pertama adalah diskriminatifkah sistem pendidikan yang demikian?
Yang perlu pertama kali disadari oleh kita semua sebelum menjawab pertanyaan pada bagian pertama adalah pemahaman tentang makna pendidikan tinggi yang sebenarnya.  Dalam situs resmi DAAD (Kementerian Pendidikan Jerman) disebutkan bahwa terdapat tiga jenis pendidikan tinggi di Jerman, yaitu University, University of Applied Science, serta College. Universitas, atau yang dalam bahasa Jerman “Universität”, adalah lembaga pendidikan tinggi yang ditujukan untuk riset serta menghasilkan Doktor. Universitas lebih menekankan kepada pengembangan ilmu serta penemuan baru. SedangkanUniversity of Applied Science bertujuan untuk memberikan pembelajaran kepada siswa tentang kaidah-kaidah ilmiah yang dapat diterapkan pada tingkatan profesional. Program tersebut memungkinkan mahasiswa untuk menerapkan ilmunya dalam dunia pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmunya. Dan yang terakhir adalah College, yaitu lembaga pendidikan tinggi yang disiapkan untuk mempelajari materi yang beriorientasi pada desain, seperti college of art, college of music dan sejenisnya.
Penerapan sistem pendidikan yang berjenjang dan “terkesan memilih” tersebut sangat dipatuhi rakyat Jerman maupun Swiss tanpa banyak protes atas nama HAM serta tidak dimaknai sebagai pendidikan yang diskriminatif. Mengapa? Menurut pandangan pribadi saya karena sistem pendidikan di kedua negara tersebut tidak diskriminatif dengan membedakan anak orang kaya ataupun tidak, anak pejabat ataupun orang biasa, tetapi yang terpenting adalah penekanan pada tingkat kecerdasan seseorang. Siapapun orangnya, anak siapapun, kaya maupun miskin, sepanjang dia memiliki kecerdasan yang memadai pasti bisa sampai pada jenjang pendidikan tertinggi. Kondisi ini ditambah dengan komitmen Pemerintah menjamin sepenuhnya pembiayaan pendidikan hampir semuanya dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Dan bagi yang merasa kurang mampu secara akademik juga disediakan pilihan dengan tetap mengacu kepada tingkat kehidupan yang sejahtera selepas dari sekolah maupun perguruan tinggi.
Kita tentu tidak iri manakala ada rekan satu kelas kita pada saat di SMA yang memang tergolong siswa pandai, bisa diterima di sekolah-sekolah kedinasan seperti STAN, STIS, Akabri, ataupun di perguruan tinggi favorit seperti ITB, UI, UGM, ITS, USU, UNHAS dan sekelasnya. Kita tidak bisa mengatasnamakan pelanggaran HAM manakala kita tidak bisa masuk perguruan tinggi tersebut karena keterbatasan kemampuan akademik kita. Namun, kita akan berteriak kencang manakala mendapati siswa yang dari segi akademik biasa-biasa saja, namun karena faktor lainnya, bisa masuk ke dalam jajaran perguruan tinggi ternama. Inilah yang menjadi akar permasalahan kita di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu pendidikan yang sering dianggap diskriminatif, khususnya pendidikan tinggi dengan semakin mahalnya biaya ditingkat universitas
Menilik kebijakan Swiss dan Jerman dalam penerapan sistem pendidikan, serta melihat pengalaman di Indonesia bahwa kita semua akan menerima dengan lapang dada dan merasa adil pada saat rekan kita yang memang pandai mampu menembus perguruan tinggi favorit, maka perlu dipikirkan kembali implementasi kebijakan pendidikan seperti yang ada di Swiss dan Jerman, di Indonesia. Walaupun kemungkinan dengan penerapan kebijakan pendidikan tersebut secara kuantitas siswa yang masuk ke jenjang pendidikan tinggi akan berkurang, namun secara kualitas mahasiswa yang berada pada jalur Universitas adalah para mahasiswa yang dipersiapkan untuk menjadi peneliti dan pengembang ilmu sampai pada tingkatan Doctor of Philosophy (Ph.D). Bagi siswa yang memiliki tingkat kecerdasan dibawahnya, dapat diberikan pilihan untuk memasuki jenjang University of Applied Science (atau yang di Indonesia lebih diterjemahkan dalam istilah Institut, Sekolah Tinggi dan sejenisnya) ataupun College (yang di Indonesia lebih diterjemahkan dalam istilah Akademi, Politeknik, atau yang setara dengan itu). Hal terpenting dari kebijakan ini adalah tidak adanya perasaan diskriminatif oleh siapapun dalam hal pemerataan pendidikan. Karena dalam pemahaman saya sebagai individu yang kurang mengerti makna HAM secara keseluruhan, makna keadilan dalam pendidikan adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada anak bangsa, siapapun orang tuanya, dari mana asalnya, dari golongan ekonomi manapun (kaya ataupun miskin), sepanjang dia memiliki tingkat kecerdasan yang memadai untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya maka dia berhak mendapatkan pendidikan sampai jenjang tertinggi sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Sebagai penutup, sekiranya saya akan memberikan cuplikan prinsip pelaksanaan pendidikan nasional sebagai yang diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yang tertulis ” Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Mudah-mudahan dengan implementasi kebijakan pendidikan seperti yang diterapkan di Jerman dan Swiss adalah wujud nyata pelaksanaan konstitusi pendidikan yang tidak diskriminatif, sebagaimana yang diamantkan konstitusi.

Read more »»  
Read more »»  
Read more »»  
Read more »»  
[ Read More.. ]

POSISI BURUH ATAU PEKERJA DALAM SISTEM PEREKONOMIAN YANG DEMOKRATIS

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adapun latar belakang dari permasalahan yang kami bahas dalam makalah ini yaitu bahwa dalam system perekonmian atau bahkan ketaatanegaraan kita itu seringkali keberadaan petani dan buruh itu tidak memiliki posisi yang pasti baik itu dalam kapasitasnya sebagai warga Negara yang berhak mendapatkan pelayanan bagaimana selayaknya atau yang tercantum dalam amanat Undang-Undang. Petani dan buruh hanya menjadi instrument politik ketika para pasangan calon pemimipin ingin mendapatkan suatu kekuasaan dan pada umunya para petani dan buruh itu seakan terbawa akan apa yang dilakukan oleh calon birokrat tersebut apalagi ketika mereka mengembor-gemborkan tentang masalah yang dihadapi oleh para petani dan buruh yang semakin membuat posisi kedua elemen ini semakin menjadi jargon politik semata.Melihat kondisi dari para petani dan buruh kita di Indonesia memang san gat memprihatinkan dimana mereka dari segi ekonomi masih berada dalam kondisi yang serba tidak mencukupi apalagi dalam perpolitikan yang sepertinya kurang mendapatkan posisi yang strategis sehingga apa yang menjadi keinginan mereka ridak bias mendapat respon dari para pelaku politik.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
A. Pengertian Ekonomi Politik
B. Posisi Buruh Dalam Perspektif Ekonomi Politik
C. Posisi Petani Dalam Pandangan Ekonomi Politik
D. Petani Dan Buruh Dalam Pandangan Ekonomi Neoklasik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ekonomi Politik
Ekonomi Politik muncul pertama kali pada sekitar abad ke-17 di Perancis, dan pada waktu itu memiliki pengertian administrasi publik atau manajemen urusan kenegaraan. Istilah ini muncul sebagai refleksi dari adanya hubungan antara negara dengan ekonomi pada waktu itu. Kata "oeconomie" atau "économie" itu sendiri dalam bahasa Perancis, yang digabungkan dengan kata politique, berasal dari kata "oeconomia" dalam bahasa Latin, yang memiliki arti yang hampir sama dengan arti kata "oikonomike" dalam bahasa Yunani, yang mana adalah "manajemen rumah tangga." Tetapi, arti kata "oeconomia" dalam bahasa Latin dapat diperluas sampai menjadi "manajemen dalam arti umum," termasuk pengaturan komposisi bahasa dalam suatu pidato. Istilah "ekonomi politik" yang mulai lebih diformulasikan sebagai ilmu organisasi ekonomi, dapat ditemukan pada mazhab Physiokrasi. Salah satu tokoh yang terkenal dari mazhab ini, yaitu Francois Quesnay, menggunakan istilah ekonomi politik mirip dengan arti tradisionalnya, tetapi dengan tambahan diskusi mengenai "sifat-dasar dari kekayaan, reproduksi dan distribusinya." Pada perkembangan berikutnya. Sementara itu, arti tambahan yang diberikan Quesnay terhadap istilah ekonomi politik ini, menjadi semakin dominan, dan pada tahun 1770, istilah ini hampir secara eksklusif diartikan sebagai produksi dan distribusi dari kekayaan dalam konteks manajemen sumber daya negara. Istilah ini kemudian banyak digunakan oleh ahli-ahli ekonomi klasik, seperti Adam Smith dan John Stuart Mill, dan pengertiannya lama kelamaan semakin menjadi seperti ekonomi positif. Menurut. Proses transisi ini, yang dilakukan dengan meningkatkan industrialisasi barang-barang modal dan perantara, atau industri berat, membutuhkan pasokan modal dan teknologi yang besar.
Negara harus bekerja sama dengan masyarakat bisnis internasional. Negara memberikan "insentif baku", seperti stabilitas dan prediktabilitas ekonomi, dengan cara menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi dan moneter yang kurang lebih konservatif atau ortodoks. Kebijakan-kebijakan ekonomi semacam ini pada gilirannya menghancurkan para pelaku ekonomi yang tidak efisien,
B. Posisi Buruh Dalam Perspektif Ekonomi Politik
Dengan adanya pandangan Ahli tentang Pendekatan strukturalis pada umumnya memiliki kelemahan bahwa analisis-analisisnya terlalu banyak difokuskan kepada persoalan struktur yang dihasilkan oleh kepentingan dari kelas-kelas sosial yang dominan—baik internasional maupun domestik dan negara, sehingga kurang memberikan perhatian kepada pembahasan mengenai segi aktif dari kelas-kelas sosial yang dimarjinalkan di dalam struktur, seperti kelas buruh dan petani. Buruh dan petani, pada umumnya hanya muncul sebagai korban yang menerima secara pasif proses sosial yang direkayasa oleh kelas-kelas sosial yang dominan. Padahal, kelas-kelas sosial yang dimarginalkan tersebut adalah juga subyek atau agen daripada sejarah, yang ikut juga berperan secara aktif dalam menentukan struktur-struktur yang akan dihasilkan. Tentunnya hal ini akan mengakibatkan gelombang demonstrasi komunitas buruh (pekerja). Gerakan buruh di Indonesia menemukan spirit resistensi-sosialnya untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial-ekonomi yang selama ini masih dalam imajinasi karena kebijakan politik upah murah pemerintah. Namun beberapa pegiat perburuhan dan pemerhati fenomena gerakan sosial memiliki perspektif pemikiran yang berbeda dalam memandang semakin meluasnya protes dan resistensi kolektif komunitas buruh di Indonesia. Beberapa anggapan tersebut antara lain:
• Pertama, gerakan buruh di Indonesia masih memiliki kelemahan secara ideologis. Gerakan buruh di Indonesia bukan gerakan transformatif yang berani membongkar struktur kekuasaan yang pro modal dan pasar. Gerakan buruh di Indonesia masih berkutat pada watak "ekonomisme", yakni berjuang untuk upah dan kesejahteraan ekonomi semata.
• Kedua, gerakan buruh di Indonesia belum memiliki kekuatan organisasi persatuan yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan kaum buruh secara makro. Gerakan buruh di Indonesia mayoritas masih didominasi oleh kalangan pekerja (buruh) kelas kerah biru yang bekerja di sektor industri manufaktur dan industri hilir. Mereka kebanyakan sekarang ini berstatus buruh kontrak yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemilik modal dan kebijakan ekonomi politik negara.
Nasib kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami proses pemiskinan dan semakin tercerabut hak sosial-ekonomi dan hak sipil-politiknya. Rencana Revisi UU No 13 tahun 2003 memiliki motivasi ekonomis politik, untuk meliberalisasikan sektor perburuhan dan melemahkan posisi tawar politik komunitas buruh di Indonesia. Standar kesejahteraan hidup para buruh di Indonesia juga semakin melemah karena himpitan dampak kebijakan ekonomi pemerintah yang berwatak neo-liberalisme. Namun sayangnya Serikat buruh tidak memiliki kekuatan ideologis dan tidak memiliki program ekonomi-politik untuk menghadapi laju kebijakan neo-liberalisme pemerintah. Gerakan buruh di Indonesia bukanlah gerakan mantelisme politik, yakni menjadi sayap atau alat kepentingan elite politik atau partai politik. Namun menjadi kekuatan yang mandiri sebagai pressure group untuk memperjuangkan demokrasi dan kepentingan substansial kaum buruh kecenderungan pemerintah membela kelompok pengusaha –pengusaha kelas atas dalam rangka menciptakan iklim investasi asing yang kondusif di Indonesia dengan serta-merta mereduksi peran buruh pada posisi yang semakin terpinggirkan. Logika ini juga tidak lepas gejala kuat yang mendorong pasar Indonesia ke dalam program neoliberalisme.
C. Posisi Petani Dalam Pandangan Ekonomi Politik
Adanya program Pemerintah terhadap para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sangat menguntanugkan bagi Negara dalam mengelola tanah pertanian yaitu membuka peluang kerja semakin tinggi, pemasukan pajak meningkat, dan ditambah adanya pendapatan non pajak. Namun, kurang berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikan kepada asing hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan tanah mati atau tidur tersebut bisa dikelola oleh petani Indonesia. Dalam pengalaman industrialisasi di tiap-tiap negara akan berbeda-beda terhadap hubungan negara, modal, dan kelas pekerja. Kehadiran gerakan kelas pekerja akan memeberikan dampak tersendiri bagi proses pembangunan yang hendak dicapai oleh sebuah negara. Dan hal ini pun akan berdampak pula pada model kerangka sosial dan politik. Saat ini pembangunan ekonomi sangat ditentukan sekali oleh kekuatan pasar. Pasar merupakan kekuatan yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Pandangan ini terutama terpengaruh oleh pandangan ekonomi neoklasik.
Mayoritas petani kita adalah warga negara yang sederhana. Mereka tidak mau neko-neko semisal menjadi golput. Sayangnya, jumlah suara petani yang amat signifikan itu sering hanya dijadikan objek pendongkrak suara demi keuntungan “politis” bagi pengurus parpol atau elite politik, baik di level nasional atau lokal. Setelah keuntungan itu diraih, nasib petani kembali tidak diperhatikan. Memang ketika kampanye untuk pemilihan umum untuk anggota legislatif, isu petani dan pertanian dimainkan dengan mencolok di iklan-iklan parpol. Ada Partai mengklaim keberhasilan swasembada beras dan langkah ekspor beras sebagai indikasi kesuksesan pembangunan pertanian. Ada Partai mencitrakan diri sebagai partai pembela kepentingan petani, melalui iklan di media televisi. Ada Partai tidak mau kalah dengan menunjukkan fakta kemelaratan petani tidak secara khusus mengangkat isu pertanian.
Namun, isu-isu pertanian yang diangkat parpol tersebut sesungguhnya masih sangat umum sifatnya, tidak rinci dan konkret, misalnya terkait pengadaan benih, pupuk dan beras. Keberadaan petani hanya dijadikan figuran. Harus diakui, posisi petani dalam kancah politik nasional masih dimarginalkan. Para petani terus ditentukan nasibnya oleh para elite politik pengambil kebijakan. Para petani tidak pernah bisa menentukan sendiri nasibnya. Pasca-reformasi 1998, sempat mencuat wacana para petani seharusnya punya parpol sendiri dan menjadi kekuatan hebat seperti di era Orde Lama di mana organisasi tani yang berpengaruh pasti berada di bayang-bayang partai politik tertentu, Petanu di bawah Partai NU. Pembentukan Partai Politik Petani sebenarnya sangat strategis. Sayangnya, banyak kendala di dalam praktiknya. Akar permasalahan pertanian di negeri ini bersumber dari belum diimplementasikannya reformasi agraria, yang sudah memiliki payung hukum, yakni Undang-Undang Republik Indonesia No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan UU itu, Indonesia resmi meninggalkan hukum agraria kolonial Agrarische Wet 1870. UUPA mengambil spirit dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (naskah awal dan asli) yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Jadi, tujuan akhir UUPA adalah mengangkat derajat para petani lewat reformasi agraria atau pertanahan. Setelah disahkannya UUPA No 5/1960, para petani kita tetap harus menghadapi berbagai kesulitan. Payung hukum yang seharusnya melindungi mereka dibuat mandul. Jadi, tidak terimplementasikannya UUPA No 5/1960 adalah sumber utama penderitaan petani.Tidak heran di era Orba, para petani tetap hidup susah, karena kemampuan petani dalam menguasai aset tanah jadi terbatas, akibat tanah mereka dialihkan ke pengusaha lewat sistem hak guna usaha (HGU) dengan luas yang tidak dibatasi. Izin HGU diobral demi menjamin kepentingan pengusaha perkebunan kelapa sawit, karet, Di Era Reformasi nasib petani tetap saja masih belum membaik, padahal Tap MPR No IX/MPR/2001 secara tegas memberi mandat pada pemerintah untuk melaksanakan reformasi agrarian.
Jadi, selama reformasi agraria yang diamanatkan UUPA No 5/1960 belum diimplementasikan, nasib petani kita tetap akan kelabu. Pada Era kerajaan dulu, sektor pertanian mendapat perhatian besar dari penguasa. Penguasa Majapahit misalnya, berani menetapkan kawasan bebas pajak berupa sawah dan kebun, seperti ditunjukkan Prasasti Kamalagi (821 M). Para petani juga dilindungi oleh undang-undang agar terhindar dari kesewenang-wenangan. Yang merugikan petani bisa dihukum atau didenda berat yang langsung dijatuhkan sang raja. Pertanian mencapai masa kejayaan di zaman Majapahit.Negeri ini butuh kebijakan politik yang pro petani, bukan malah memarginalkannya. Memang ada yang bilang posisi tawar petani sekarang sudah naik. Ini memang benar bagi petani agrobisnis, yang lahan dan modalnya kuat. Namun, bagi mayoritas petani, dengan lahan sedikit dan mungkin hanya jadi petani penggarap, posisi tawar mereka masih amat rendah. Karena itu bagi petani macam ini, harus ada upaya atau kebijakan politis yang sungguh mampu mengangkat derajat mereka. Ini bisa dimulai dengan mengi-mplementasikan UUPA No 5/1960. Para petani sudah bosan dengan janji politik yang kosong.
C. Petani Dan Buruh Dalam Pandangan Ekonomi Neoklasik
Menurut pendukung pendekatan liberal neo-klasik yang sejak 1980-an dikenal jugadengan nama neoliberalisme, isu pokok yang ditangani ilmu ekonomi adalah
bagaimana menciptakan atau meningkatkan kekayaan atau kemakmuran materiil.
Karena itu, pembangunan ekonomi adalah upaya akumulasi kapital; yang
keberhasilannya diukur dengan produk nasional bruto tahunan. Ideologi yang mendasari ilmu ekonomi liberal itu juga mengajukan asumsi khas tentang hakeket manusia. Yaitu, manusia dipandang semata-mata sebagai “makhluk
ekonomi” yang berperilaku seperti “utility-maximizing machine” (mesin yang
berfungsi memaksimalkan keuntungan) dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri.Manusia dianggap banyak akan bergerak kalau kepadanya ditunjukkan “iming-iming” yang sifatnya materiil.
Inilah yang mendasari munculnya kebijakan publik yang dalam praktek membanjiri warga masyarakat dengan kepuasan materiil,
dengan harapan kepuasan itu akan menimbulkan ketenangan. Yang dilupakan adalah
perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juba oleh
filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika. Terakhir, pendekatan liberal neo-klasik itu juga mengembangkan sikap yang khasmengenai organisasi dan lembaga sosial. Seperti sudah tersirat di atas, lembaga sosial yang paling diutamakan adalah pasar, sedangkan organisasi dan lembaga sosial lain dianggap “given”. Yang paling penting adalah mekanisme pasar. Karenaitu, mereka yang memiliki modal dan melibatkan diri dalam kegiatan pasar akanmenentukan apa yang akan terjadi dalam proses ekonomi. Apa peran negara Negara berperan mendefinisikan dan melindungi hak milik dan menciptakan lingkungan yangmendukung bekerjanya pasar.sistem perekonomian pemerintah lebih terkesan pro-liberalisme, sehingga sikap pemerintah menjadi ambigu Sedangkan dalam pandangan demokrasi liberal seperti diungkapkan oleh Barrington Moore’s (1966), bahwa kaum borjuis memiliki peran penting dalam proses pembangunan demokrasi, sedangkan kehadiran kekuatan kelas pekerja yang didasarkan pada siapa yang berkuasa dalam eksploitasi kaum petani, dianggap menghambat ke arah pembangunan demokrasi.


BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
Buruh dan petani, pada umumnya hanya muncul sebagai korban yang menerima secara pasif proses sosial yang direkayasa oleh kelas-kelas sosial yang dominan. Padahal, kelas-kelas sosial yang dimarginalkan tersebut adalah juga subyek atau agen daripada sejarah, yang ikut juga berperan secara aktif dalam menentukan struktur-struktur yang akan dihasilkan. Nasib kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami proses pemiskinan dan semakin tercerabut hak sosial-ekonomi dan hak sipil-politiknya. kurang berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Daripada diberikan kepada asing hendaknya pemerintah berpikir bagaimana jutaan tanah mati atau tidur tersebut bisa dikelola oleh petani Indonesia. bahwa kaum borjuis memiliki peran penting dalam proses pembangunan demokrasi, sedangkan kehadiran kekuatan kelas pekerja yang didasarkan pada siapa yang berkuasa dalam eksploitasi kaum petani, dianggap menghambat ke arah pembangunan demokrasi.
 Saran
Dalam pentusunan makalah ini pastinya masih terdapat berbagai kekurangan oleh sebab itu saran dan kritikan yang sifatnya membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini kedepannya
Read more »»  
Read more »»  
Read more »»  
Read more »»  
[ Read More.. ]

PEMERINTAHAN PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL DAN TERPIMPIN



A. MASA DEMOKRASI LIBERAL
1. Kurun Waktu 6 September 1950 – 10 Juli 1959
Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Perlulah diketahui bahwa demokrasi ini yang dibahas oleh kelompok kami berbeda dengan demokrasi selama kurun waktu 1949 – 1950. Pada periode itu berlaku Konstitusi RIS. Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Sistem pemerintahan yang dianut ialah Demokrasi Parlementer (Sistem Demokrasi Liberal). Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Karena pada umumnya rakyat menolak RIS, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950.
2. Pandangan Umum :
Karena Kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar,
masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.
Faktor Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal: Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.
Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.
Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.
Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.
Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami
rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS
1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan
jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan
ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan
dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta
tidak berlakunya UUDS 1950.
3. Seputar Dekrit Presiden
Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun tidaklah serta merta bahwa setalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi Terpimpin dilaksanakan karena telah disebutkan di atas bahwa Demokrasi Liberal berakhir pada tanggal 10 Juli 1959.
Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :
# Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
# Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
# Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.
# Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
# Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional
# Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk
# Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.
Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
a.      Pembubaran konstituante
b.      Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
c.       Pembentukan MPRS dan DPAS
Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:
#Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal.
# Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
# KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.
# DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD 1945.
Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
# Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
# Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
# Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
# Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
# Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
# Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
B. MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
1. Kurun Waktu 1959 – 1965
Pada periode ini sering juga disebut dengan Orde Lama. UUD yang digunakan adalah UUD 1945 dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Menurut UUD 1945 presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, presiden dan DPR berada di bawah MPR. Pengertian demokrasi terpimpin pada sila keempat Pancasila adalah dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, akan tetapi presiden menafsirkan “terpimpin”, yaitu pimpinan terletak di tangan ‘Pemimpin Besar Revolusi”. Dengan demikian pemusatan kekuasaan di tangan presiden. Terjadinya pemusatan kekuasaan di tangan presiden menimbulkan penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang puncaknya terjadi perebutan kekuasaan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 (G30S/PKI) yang merupakan bencana nasional bagi bangsa Indonesia.
2. Pandangan Umum :
Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno.
Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Sukarno.
Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden.
Tugas Demokrasi terpimpin :
Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini disebabkan karena :
# Pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara.
# Sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.
Dampaknya: Penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan di tangan presiden).
Pelaksanaan masa Demokrasi Terpimpin :
# Kebebasan partai dibatasi
# Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
# Pemerintah berusaha menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945.
# Dibentuk lembaga-lembaga negara antara lain MPRS,DPAS, DPRGR dan Front Nasional.
Penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan Demokrasi terpimpin dari UUD 1945 adalah sebagai berikut.
1. Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS  tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
2.     Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR.
Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat  :
Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang wakil golongan.
Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3.     Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Tugas DPR GR adalah sebagai berikut.
# Melaksanakan manifesto politik
# Mewujudkan amanat penderitaan rakyat
# Melaksanakan Demokrasi Terpimpin
4.     Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah.
Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK.
5.     Pembentukan Front Nasional
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut.
# Menyelesaikan Revolusi Nasional
# Melaksanakan Pembangunan
# Mengembalikan Irian Barat
6.     Pembentukan Kabinet Kerja
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut.
# Mencukupi kebutuhan sandang pangan
# Menciptakan keamanan negara
# Mengembalikan Irian Barat.
7.     Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom
Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa.
Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat. Dikeluarkan ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan Presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden.
Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
8.     Adanya ajaran RESOPIM
Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional) adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.
Inti dari ajaran ini adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno.
Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara ditetapkan dibawah presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian pangkat menteri kepada pimpinan lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri seharusnya sebagai pembantu presiden.
9.           Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu golongan fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.
10.      Pentaan Kehidupan Partai Politik
Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah anggota yang terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal 11 partai.
Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian.
Pembatasan gerak-gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden. Kedudukan presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan 2 partai politik yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan pembubaran partai tersebuat adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960.
11.       Arah Politik Luar Negeri
Bahasan Umum: Pada awalnya, politik luar negeri Indonesia adalah politik bebas aktif sesuai yang mengabdi pada kepentingan nasional. Bebas berarti tidak memihak salah satu blok (barat/timur), sedangkan aktif berarti ikut memelihara perdamaian dunia. Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan politik luar negeri condong mendekati negara-negara blok timur dan konfrontasi terhadap negara-negara blok barat. Perubahan arah ini disebabkan oleh :
1) Faktor dalam negeri : dominasi PKI dalam kehidupan politik
2) Faktor luar negeri : sikap negara-negara Barat yang kurang simpati dan tidak mendukung terhadap perjuangan bangsa Indonesia.
a.     Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces)
Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme.
Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).
Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis.
b.     Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo.
Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.
# Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
# Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
c.     Politik Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing.
Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
d.    Politik Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur.
Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin.
Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju.
GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional.
Besarnya kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan demokrasi terpimpin tampak dengan:
a. Pengangkatan Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
b. Pidato presiden yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tanggal 17 Agustus 1959 yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959.
c. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK.
d. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai presiden seumur hidup.
e. Pidato presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri.
f. Presiden berusaha menciptakan kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan di antara TNI dengan Parpol.
g. Presiden mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk Komandan Operasi Tertinggi (KOTI).

Read more »»  
Read more »»  
Read more »»  
Read more »»  
[ Read More.. ]